1.
Sejarah Hidup
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu
al-Shabbah ibnu ‘Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi. Kindah
merupakan suatu nama kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang
dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan
seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran
Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah
pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari keluarga kaya dan
terhormat. Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa
pemerintahan Al-Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami masa
pemerintahan lima khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim,
Al- Wasiq, dan Al-Mutawakkil.
Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat
studi bahasa dan teologi Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota
kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa
itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu
tidak heran jika ia dapat menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu alam,
astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik meteorologi, optika, kedokteran, matematika,
filsafat, dan politik.
Penguasaannya terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia
menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof
terkemuka. Karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang gelar Faiasuf
al-‘Arab (filosof berkebangsaan Arab).
2. Filsafat atau Pemikirannya
a. Talfiq
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq)
antara agama dan filsafat. Menurutya filsafat adalah pengetahuan yang benar (
knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih
meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang
dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak
dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan
mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan
sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu
mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama
bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan
agama ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang
Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak
filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran,
kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping itu, karena
pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang
ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk
berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus
menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak ada
yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu
sendiri”. Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang mengatakan
dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran,
sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika diibaratkan
maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang
memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi beragama.
Pengingkaran terhadap hasil-hasil
filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menurut mereka
telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini menurut Al-Kindi, tidak
dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena hal itu dapat dilakukan
ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaaan antara keduanya,
yaitu:
1) Filsafat termasuk humaniora yang dicapai
filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang
menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan
hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
2) Jawaban filsafat menunjukan
ketidakpastian (semu) dan memerlukan berpikir atau perenungan. Sedangkan agama
lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan
menyakinkan dengan mutlak.
3) Filsafat mempergunakan metode logika,
sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan. Walaupun Al-Kindi termasuk
pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak mendewa-dewakan akal.
b. Jiwa
Tentang jiwa, menurut
Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi
ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan
hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah,
terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan
pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan
dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan
ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah
jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat
Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat Aristoteles.
Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi
badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan
isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato
berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan
temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi
tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.
Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya
pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun
keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan
oleh Tuhan.
3.
Moral
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang
diri dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak
dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia.
Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri
dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan
kedudukannya dalam negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti
Socrates. Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk
melatih kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan
pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf,
Al-Kindi prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian
secara wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah
Socrates.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar