Menurut Aritoteles,
filsafat dimulai dari rasa kagum (lnggris,
wonder; Yunani, thauma) yang tumbuh dari suatu aporia.
Aporia berarti “problim” atau “tanpa jalan keluar”. Problim dapat diartikan sebagai
suatu si tuasi yang teoritis maupun praktis, untuk itu tidak ada jawaban yang
lazim secara otomatis memadai, oleh karena
itu memerlukan proses perenungan.
Titik tolak untuk
mengadakan pemikiran secara kefilsafatan
merupakan hal yang unik. Filsafat dapat dikatakan serupa
dengan lingkaran geometri. Titik awal pemikiran kefilsafatan seperti halnya salah
satu titik yang terdapat pada lingkaran tersebut yang terdiri dari jumlah titik
yang tidak terhingga banyaknya. Setiap titik dapat digunakan sebagai titik awal. Dalam
hal ini tidak satu titikpun benar-benar memuaskan sebagai permulaan, karena tiap-tiap
titik, sebagai titik pada lingkaran bergantung pada semua titik lingkaran lainnya.
Tiap-tiap titik lingkaran bergantung pada tiap-tiap titik lingkaran yang lain;
demikian juga halnya tiap-tiap persoalan filsafat bergantung pada tiap-tiap persoalan filsafat yang lain dan
membutuhkannya sebagai bukti.
Sesuatu hal yang dihadapi
manusia yang berupa persoalan itu belum
jelas duduk persoalannya, sehingga dibutuhkan jawaban
yang dapat menjelaskannya. Jawaban atas persoalan ini dapat diperoleh
dengan kegiatan akal yang disebut berpikir.
Berfilsafat adalah
berpikir. Namun tidak dapat dibalik bahwa
berpikir adalah berfilsafat. Kalau dikatakan berfilsafat adalah
berpikir, hal ini dimaksudkan bahwa berfilsafat termasuk kegiatan berpikir. Kata
“adalah” dalam “berfilsafat adalah berpikir” mengandung pengertian bahwa berfilsafat
itu tidak identik dengan berpikir melainkan berfilsafat termasuk dalam berpikir. Dengan demikian tidak semua
orang yang berpikir itu mesti berfilsafat. Akan
tetapi dapat dipastikan bahwa orang yang berfilsafat itu pasti berpikir. Hanya saja yang dimaksud berfilsafat itu adalah
berpikir dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya seorang
mahasiswa berpikir bagaimana agar memperoleh Indek Prestasi (IP) yang tinggi pada semester sekarang, atau seorang pegawai negeri memikirkan berapa jumlah
gaji yang akan diterima untuk bulan yang akan datang, atau seorang pedagang
berpikir tentang laba yang akan diperoleh dalam bulan ini. Semua contoh
yang dikemukakan itu bukanlah berpikir secara kefilsafatan melainkan berpikir biasa
atau berpikir sehari-hari yang jawabannya tidak memerlukan pemikiran yang
mendalam. Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan.
(1) Berfilsafat
adalah berpikir secara radikal. Radikal
berasal dari kata Yunani radix yang berarti akar. Berpikir radikal
adalah berpikir sampai ke akar-akarnya atau berpikir sampai ke hakikat, essensi, atau
substansi yang dipikirkan. Berfilsafat adalah berpikir sarnpai pada keapaan
(whatness) dari sesuatu hal. Pada awal munculnya filsafat, manusia yang berfilsafat
tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera, karena pengetahuan
yang diperoleh bersifat tidak tetap atau selalu berubah. Manusia yang berfilsafat
dengan menggunakan akalnya
berusaha untuk memperoleh pengetahuan hakikat yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi. Menurut Aristoteles, filsafat itu adalah pengetahuan yang sejati. Adapun pengetahuan yang sejati itu adalah pengetahuan yang mesti, tetap dan kekal, di belakang apa yang tidak mesti, tidak tetap dan tidak kekal yaitu yang hanya kebetulan, senantiasa bergerak dan berubah. Di belakang kejadian-kejadian itu ada sesuatu yang tidak kebetulan, tidak bergerak, tidak berubah dan inilah yang disebut hakikat.
berusaha untuk memperoleh pengetahuan hakikat yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi. Menurut Aristoteles, filsafat itu adalah pengetahuan yang sejati. Adapun pengetahuan yang sejati itu adalah pengetahuan yang mesti, tetap dan kekal, di belakang apa yang tidak mesti, tidak tetap dan tidak kekal yaitu yang hanya kebetulan, senantiasa bergerak dan berubah. Di belakang kejadian-kejadian itu ada sesuatu yang tidak kebetulan, tidak bergerak, tidak berubah dan inilah yang disebut hakikat.
(2) Berfilsafat
adalah berpikir secara universal. Yang
dimaksud berpikir secara universal adalah berpikir tentang hal-hal
dan proses-proses yang bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum manusia (common experience of mankind). Dengan cara penjajagan yang
radikal itu filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
Bagaimana cara yang ditempuh seorang filsuf untuk mencapai sasaran
pemikirannya berbeda-beda, namun yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dari
hal-hal khusus yang ada dalam kenyataan.
(3) Berfilsafat
adalah berpikir secara konseptual. Yang
dimaksud konsep di sini adalah hasil dari generalisasi dan
abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-proses individual. Berfilsafat tidak
berpikir tentang “manusia tertentu” atau “manusia khusus” melainkan berpikir tentang
“manusia secara umum” atau “kemanusiaan”. Berpikir secara kefilsafatan
tidak bersangkutan dengan pemikiran atas perbuatan-perbuatan bebas yang dilakukan
oleh orang-orang tertentu, orang-orang khusus,
sebagaimana dipelajari oleh psikologi, melainkan
bersangkutan dengan pemikiran tentang “apakah kebebasan
itu?”. Dengan ciri yang konseptual ini, berpikir secara kefilsafatan melampaui
batas-batas pengalaman hidup sehari-hari.
(4) Berfilsafat
adalah berpikir secara koheren. Yang dimaksud
dengan koheren adalah berhubungan dengan sesuatu pengertian
umum, bertalian dengan suatu prinsip, atau sesuai dengan kaidah-kaidah
atau hukum-hukum logika. Misalnya dalam bentuk penalaran : A=B; B=C;
jadi A=C. Suatu pernyataan dikatakan benar kalau putusan itu selaras (coherence) dengan putusan sebelumnya
yang dikatakan benar.
(5) Berrfilsafat adalah
berpikir secara konsisten. Yang dimaksud konsisten adalah konsep atau bentuk uraian yang tidak
mengandung kontradiksi. Kontradiksi adalah pertentangan yang saling menyisihkan. Contoh
pernyataan yang tidak konsisten misalnya “lingkaran yang berbentuk segitiga”; “bujangan yang sudah nikah”
(6) Berfilsafat
adalah berpikir secara sistematik. Sistematik berasal
dari kata “sistem”. Yang dimaksud dengan sistem
adalah kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata
pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan
tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, para
filsuf atau ahli filsafat menggunakan pernyataan-pernyataan sebagai wujud dari proses
berpikir secara kefilsafatan. Pernyataan-pernyataan yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud
atau tujuan mengapa uraian itu dibuat.
(7) Berfilsafat adalah
berpikir secara komprehensi f. Yang dimaksud komprehensif adalah mencakup secara keseluruhan. Filsafat
berusaha untuk menjelaskan alam semesta beserta bagian-bagiannya secara menyeluruh.
Kalau suatu sistem filsafat bersifat komprehensif, berarti sistem itu
mencakup secara keseluruhan, dan tidak ada sesuatu pun yang berada di luarnya.
(8) Berfilsafat
adalah berpiki r secara bebas. Sampai
batas-batas yang luas maka setiap filsafat dapat dikatakan merupakan
hasil dari pemikiran secara bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis,
kultural maupun religius. Sikap-sikap bebas
ini banyak ditunjukkan oleh para filsuf
di segala zaman. Socrates memilih minum racun dan menatap maut
daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk berpikir menurut keyakinannya.
Spinoza karena khawatir kehilangan kebebasannya untuk berpikir menolak
pengangkatannya sebagai guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg.
Kebebasan berpikir itu adalah
kebebasan yang berdisiplin. Berpikir dan menyelidiki secara bebas itu tidaklah berarti
sembarangan, sesuka hati, anarkhi, malahan sebaliknya berpikir dan menyelidiki yang
sangat terikat. Akan tetapi ikatan itu berasal dari dalam, dan kaidah (hukum)
dan disiplin pikiran itu sendiri. Di
sinilah berpikir dan menyelidiki dengan bebas itu
berarti berpikir dan menyelidiki menggunakan disiplin yang seketat-ketatnya.
Dengan demikian pikiran yang dari luar sangat bebas, namun dari dalam
sangatlah terikat. Ditinjau dan aspek ini berfilsafat dapatlah dikatakan mengembangkan
pikiran dengan sadar, semata-mata menurut kaidah pikiran itu
sendiri (laws of thought).
(9) Berfilsafat
adalah berpikir yang bertanggungjawab. Orang
yang berfilsafàt adalah orang yang berpikir sambil
bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang pertama adalah terhadap hati nuraninya
(conscience) sendiri. Di sini nampak ada hubungan antara kebebasan berpikir dalam
filsafat dengan etika yang mendasarinya. Seorang filsuf seolah-olah mendapat
panggilan untuk membiarkan pikirannya menjelajahi kenyataan yang
dihadapinya. Akan tetapi tidak sampai di situ saja yang dirasakan menjadi tugasnya.
Tahap berikutnya adalah bagaimana caranya filsuf itu merumuskan pikirannya
agar dapat dikomunikasikan kepada orang lain; dalam usaha ini sebenamya
seorang filsuf berusaha mengajak orang lain untuk ikut serta dalam alam pikirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar