Minggu, 25 Desember 2016

Berpikir Secara Kefilsafatan

Menurut  Aritoteles,  filsafat  dimulai  dari  rasa  kagum  (lnggris,  wonder;  Yunani, thauma)  yang  tumbuh  dari  suatu  aporia.  Aporia  berarti  “problim”  atau  “tanpa  jalan keluar”.  Problim  dapat  diartikan  sebagai  suatu  si tuasi  yang  teoritis maupun  praktis, untuk  itu  tidak  ada  jawaban  yang  lazim  secara  otomatis  memadai,  oleh  karena  itu memerlukan proses perenungan.
Titik  tolak  untuk  mengadakan  pemikiran  secara  kefilsafatan  merupakan  hal yang  unik.  Filsafat  dapat  dikatakan  serupa  dengan  lingkaran  geometri.  Titik  awal pemikiran  kefilsafatan  seperti  halnya  salah  satu  titik  yang  terdapat  pada  lingkaran tersebut  yang  terdiri  dari  jumlah  titik  yang  tidak  terhingga  banyaknya.  Setiap  titik dapat  digunakan  sebagai  titik  awal.  Dalam  hal  ini  tidak  satu  titikpun  benar-benar memuaskan  sebagai  permulaan,  karena  tiap-tiap  titik,  sebagai  titik  pada  lingkaran bergantung  pada  semua  titik  lingkaran  lainnya.  Tiap-tiap  titik  lingkaran  bergantung pada  tiap-tiap  titik  lingkaran  yang  lain;  demikian  juga  halnya  tiap-tiap  persoalan filsafat bergantung pada tiap-tiap persoalan filsafat yang lain dan membutuhkannya sebagai bukti. 
Sesuatu  hal  yang  dihadapi  manusia  yang  berupa  persoalan  itu  belum  jelas duduk  persoalannya,  sehingga  dibutuhkan  jawaban  yang  dapat  menjelaskannya. Jawaban  atas  persoalan  ini  dapat  diperoleh  dengan  kegiatan  akal  yang  disebut berpikir.
Berfilsafat  adalah  berpikir.  Namun  tidak  dapat  dibalik  bahwa  berpikir  adalah berfilsafat.  Kalau  dikatakan  berfilsafat  adalah  berpikir,  hal  ini  dimaksudkan  bahwa berfilsafat  termasuk  kegiatan  berpikir.  Kata  “adalah”  dalam  “berfilsafat  adalah berpikir” mengandung  pengertian  bahwa  berfilsafat  itu  tidak  identik  dengan  berpikir melainkan berfilsafat termasuk dalam berpikir. Dengan demikian tidak semua orang yang  berpikir  itu  mesti  berfilsafat.  Akan  tetapi  dapat  dipastikan  bahwa  orang  yang berfilsafat itu pasti berpikir. Hanya saja yang dimaksud berfilsafat itu adalah berpikir dengan  ciri-ciri  tertentu.  Misalnya  seorang  mahasiswa  berpikir  bagaimana  agar memperoleh Indek Prestasi (IP) yang tinggi pada semester sekarang, atau seorang pegawai  negeri  memikirkan  berapa  jumlah  gaji  yang  akan  diterima  untuk  bulan yang  akan  datang,  atau  seorang  pedagang  berpikir  tentang  laba  yang  akan diperoleh  dalam  bulan  ini.  Semua  contoh  yang  dikemukakan  itu  bukanlah  berpikir secara  kefilsafatan  melainkan  berpikir  biasa  atau  berpikir  sehari-hari  yang jawabannya  tidak  memerlukan  pemikiran  yang  mendalam.  Ada  beberapa  ciri berpikir secara kefilsafatan.
(1)  Berfilsafat  adalah  berpikir  secara  radikal.  Radikal  berasal  dari  kata  Yunani radix  yang  berarti  akar.  Berpikir  radikal  adalah  berpikir  sampai  ke  akar-akarnya atau berpikir sampai  ke hakikat,  essensi,  atau substansi  yang  dipikirkan. Berfilsafat adalah  berpikir  sarnpai  pada  keapaan  (whatness)  dari  sesuatu  hal.  Pada  awal munculnya  filsafat,  manusia  yang  berfilsafat  tidak  puas  hanya  memperoleh pengetahuan  lewat  indera,  karena  pengetahuan  yang  diperoleh  bersifat  tidak  tetap atau  selalu  berubah.  Manusia  yang  berfilsafat  dengan  menggunakan akalnya
berusaha  untuk  memperoleh  pengetahuan  hakikat  yaitu  pengetahuan  yang mendasari  segala  pengetahuan  inderawi.  Menurut  Aristoteles,  filsafat  itu  adalah pengetahuan  yang sejati. Adapun pengetahuan  yang sejati itu adalah pengetahuan yang mesti, tetap dan kekal, di belakang apa yang tidak mesti, tidak tetap dan tidak kekal  yaitu  yang  hanya  kebetulan,  senantiasa  bergerak  dan  berubah.  Di  belakang kejadian-kejadian  itu  ada  sesuatu  yang  tidak  kebetulan,  tidak  bergerak,  tidak berubah dan inilah yang disebut hakikat.
(2)  Berfilsafat  adalah  berpikir  secara  universal.  Yang  dimaksud  berpikir  secara universal  adalah  berpikir  tentang  hal-hal  dan  proses-proses  yang  bersifat  umum. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum manusia (common experience of mankind).  Dengan  cara  penjajagan  yang  radikal  itu  filsafat  berusaha  untuk  sampai pada  kesimpulan-kesimpulan  yang  universal.  Bagaimana  cara  yang  ditempuh seorang  filsuf  untuk  mencapai  sasaran  pemikirannya  berbeda-beda,  namun  yang dituju  adalah  keumuman  yang  diperoleh  dari  hal-hal  khusus  yang  ada  dalam kenyataan.
(3)  Berfilsafat  adalah  berpikir  secara  konseptual.  Yang  dimaksud  konsep  di  sini adalah  hasil  dari  generalisasi  dan  abstraksi  dari  pengalaman  tentang  hal-hal  serta proses-proses  individual.  Berfilsafat  tidak  berpikir  tentang  “manusia  tertentu”  atau “manusia  khusus”  melainkan  berpikir  tentang  “manusia  secara  umum”  atau “kemanusiaan”.  Berpikir  secara  kefilsafatan  tidak  bersangkutan  dengan  pemikiran atas  perbuatan-perbuatan  bebas  yang  dilakukan  oleh  orang-orang  tertentu,  orang-orang  khusus,  sebagaimana  dipelajari  oleh  psikologi,  melainkan  bersangkutan dengan  pemikiran  tentang  “apakah  kebebasan  itu?”.  Dengan  ciri  yang  konseptual ini,  berpikir  secara  kefilsafatan  melampaui  batas-batas  pengalaman  hidup  sehari-hari.
(4)  Berfilsafat  adalah  berpikir  secara  koheren.  Yang  dimaksud  dengan  koheren adalah  berhubungan  dengan  sesuatu  pengertian  umum,  bertalian  dengan  suatu prinsip,  atau  sesuai  dengan  kaidah-kaidah  atau  hukum-hukum  logika.  Misalnya dalam  bentuk  penalaran  :  A=B;  B=C;  jadi  A=C.  Suatu  pernyataan  dikatakan  benar kalau putusan itu  selaras (coherence) dengan putusan sebelumnya  yang dikatakan benar.
(5)  Berrfilsafat adalah berpikir secara konsisten. Yang dimaksud konsisten adalah konsep  atau  bentuk  uraian  yang  tidak mengandung  kontradiksi.  Kontradiksi  adalah pertentangan  yang  saling  menyisihkan.  Contoh  pernyataan  yang  tidak  konsisten misalnya “lingkaran yang berbentuk segitiga”; “bujangan yang sudah nikah”
(6)  Berfilsafat  adalah  berpikir  secara  sistematik.  Sistematik  berasal  dari  kata “sistem”.  Yang  dimaksud  dengan  sistem  adalah  kebulatan  dari  sejumlah  unsur yang  saling  berhubungan  menurut  tata  pengaturan  untuk  mencapai  sesuatu maksud  atau  menunaikan  sesuatu  peranan  tertentu.  Dalam  mengemukakan jawaban  terhadap  sesuatu  masalah,  para  filsuf  atau  ahli  filsafat  menggunakan pernyataan-pernyataan  sebagai  wujud  dari  proses  berpikir  secara  kefilsafatan. Pernyataan-pernyataan yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus berhubungan secara  teratur  dan  terkandung  adanya  maksud  atau  tujuan  mengapa  uraian  itu dibuat. 
(7)  Berfilsafat adalah  berpikir secara komprehensi f. Yang dimaksud komprehensif adalah  mencakup  secara  keseluruhan.  Filsafat  berusaha  untuk  menjelaskan  alam semesta  beserta  bagian-bagiannya  secara menyeluruh.  Kalau  suatu  sistem  filsafat bersifat  komprehensif,  berarti  sistem  itu  mencakup  secara  keseluruhan,  dan  tidak ada sesuatu pun yang berada di luarnya.
(8)  Berfilsafat  adalah  berpiki r  secara  bebas.  Sampai  batas-batas  yang  luas  maka setiap  filsafat  dapat  dikatakan  merupakan  hasil  dari  pemikiran  secara  bebas. Bebas  dari  prasangka-prasangka  sosial,  historis,  kultural  maupun  religius.  Sikap-sikap  bebas  ini  banyak  ditunjukkan  oleh  para  filsuf  di  segala  zaman.  Socrates memilih  minum  racun  dan  menatap  maut  daripada  harus  mengorbankan kebebasannya  untuk  berpikir  menurut  keyakinannya.  Spinoza  karena  khawatir kehilangan  kebebasannya  untuk  berpikir  menolak  pengangkatannya  sebagai  guru besar filsafat pada Universitas Heidelberg.
Kebebasan berpikir itu  adalah kebebasan  yang berdisiplin. Berpikir dan menyelidiki secara  bebas  itu  tidaklah  berarti  sembarangan,  sesuka  hati,  anarkhi,  malahan sebaliknya  berpikir  dan  menyelidiki  yang  sangat  terikat.  Akan  tetapi  ikatan  itu berasal  dari  dalam,  dan  kaidah  (hukum)  dan  disiplin  pikiran  itu  sendiri.  Di  sinilah berpikir  dan  menyelidiki  dengan  bebas  itu  berarti  berpikir  dan  menyelidiki menggunakan  disiplin  yang  seketat-ketatnya.  Dengan  demikian  pikiran  yang  dari luar  sangat  bebas,  namun  dari  dalam  sangatlah  terikat.  Ditinjau  dan  aspek  ini berfilsafat  dapatlah  dikatakan  mengembangkan  pikiran  dengan  sadar,  semata-mata menurut kaidah pikiran itu sendiri (laws of thought).
(9)  Berfilsafat  adalah  berpikir  yang  bertanggungjawab.  Orang  yang  berfilsafàt adalah  orang  yang  berpikir  sambil  bertanggungjawab.  Pertanggungjawaban  yang pertama  adalah  terhadap  hati  nuraninya  (conscience)  sendiri.  Di  sini  nampak  ada hubungan  antara  kebebasan  berpikir  dalam  filsafat  dengan  etika  yang mendasarinya.  Seorang  filsuf  seolah-olah  mendapat  panggilan  untuk  membiarkan pikirannya  menjelajahi  kenyataan  yang  dihadapinya.  Akan  tetapi  tidak  sampai  di situ  saja  yang  dirasakan  menjadi  tugasnya.  Tahap  berikutnya  adalah  bagaimana caranya  filsuf  itu  merumuskan  pikirannya  agar  dapat  dikomunikasikan  kepada orang  lain; dalam  usaha  ini  sebenamya  seorang  filsuf  berusaha  mengajak  orang lain untuk ikut serta dalam alam pikirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar