Ada seorang
tukang potong kayu yang bekerja pada seorang juragan kaya. Hari pertama
bekerja, sang pemotong kayu mampu membelah dua belas batang kayu sesuai dengan
keinginan juragannya. Memasuki minggu kedua, sang pemotong kayu hanya mampu
membelah delapan batang kayu. Hingga pada minggu berikutnya, ia hanya mampu
membelah lima batang kayu, demikian seterusnya kuantitas kayu yang dibelahnya
semakin menurun.
Sambil
menggerutu dengan kondisinya tersebut, sang pemotong kayu ini datang kepada
juraganya, melaporkan bahwa kemampuan dirinya dalam membelah kayu menurun
drastis. Sang pemotong kayu ini khawatir bahwa sang juragan akan marah dan
memecatnya. Namun, di luar dugaannya, sang juragan malah bertanya, “Kapan
terakhir kali kamu asah kapakmu?” tanya si juragan. Si pemotong kayu pun
menjawab, bahwa belum pernah sekalipun mengasah kapaknya tersebut sejak
diterima bekerja.
Kapak dalam
cerita diatas sama dengan otak yang kita miliki. Apabila kita senatiasa
mengasah otak dengan belajar maka kecerdasan kita otomatis akan bertambah,
minimal tetap bertahan pada level yang kita inginkan. Namun sebaliknya, apabila
kita tidak mengasah otak kita dengan berhenti belajar, maka yakinlah kecerdasan
kita pun akan menurun bahkan lebih jauh lagi akan menjadi tumpul. Jadi, pesan
moral cerita didepan adalah jangan pernah berhenti mengasah otak kita dengan
belajar; membaca, berdiskusi dan menulis. Karena dengan cara seperti inilah,
eksistensi kita sebagai manusia berakal akan tetap terjaga.
Pun halnya
dengan guru. Guru yang tak pernah berhenti belajar (mengasah otaknya) akan
melahirkan banyak kreatifitas yang segar dan disukai anak didiknya dalam
mengajar. Sementara guru yang hanya terpaku dengan materi ajar yang ada, tanpa
mengelaborasi dengan pelbagai hasil bacaan, diskusi dan kegiatan menulis akan
menjadi guru yang rigid dan membosankan bagi anak didiknya. Padahal, semua
pakar pendidikan sepakat bahwa satu-satunya profesi yang tidak ada kata jeda
untuk belajar adalah guru.
Namun
faktanya sekarang hanya sebagaian kecil guru yang tekun mengasah otaknya dengan
belajar. Bahwa ada guru yang senantiasa menjaga tradisi belajarnya dengan
membaca dan menulis, itu bisa dihitung dengan jari. Sebagaian besar guru kalau
tidak bisa dikatakan mayoritas, belum menjadikan aktivitas membaca dan menulis
sebagai kewajiban bagi profesinya tersebut.
Padahal
dengan membaca, wawasan berpikir guru akan ikut berkembang. Dimana bisa membuat
guru menjadi fasilitator yang handal dalam memediasi keinginan belajar anak
didik. Guru yang banyak membaca akan membuat anak didiknya betah bersama guru
tersebut, karena ia mengikuti gaya belajar siswa dan punya segudang ide dalam
merangsang kreatifitas belajar anak didiknya. Dan ide-ide tersebut tak
sekonyong-konyong terjun dari langit, namun hadir oleh karena aktivitas membaca
yang tekun.
Seturut
dengan itu, dengan rajin menulis akan memudahkan guru dalam membuat lesson
plan. Guru tak canggung lagi dalam menemukan metode yang tepat dalam
menumbuhkan gairah belajar anak didik. Karena sudah ada lesson plan yang
menjadi acuan. Lesson plan yang dibuat oleh guru yang biasa menulis adalah
lesson plan yang orisinil serta punya korelasi yang positif bagi guru tersebut
dalam mengajar. Karena ia paham betul dengan materi lesson plannya itu. Sementara
guru yang tak terbiasa menulis kerap kehilangan otentisitas dalam penyusunan
lesson plan karena terjebak dalam budaya copy paste. Sehingga berpengaruh pada
penguasaan materi yang parsial.
Guru Manajer dan Pemimpin
Guru yang
berkualitas akan lahir ketika budaya belajar senantiasa terinternalisasi dalam
diri seorang guru. Guru sesungguhnya telah kehilangan ruhnya sebagai guru yang
berkualitas, ketika ia tidak lagi peduli dengan kegiatan membaca, berdiskusi
dan menulis. Guru yang hanya “mengada” tanpa ada usaha untuk “menjadi” adalah
guru manajer; yakni guru yang kerjanya hanya piawai mengatur dan memerintah
anak didik sesuai dengan kehendaknya. Sementara guru yang “menjadi” adalah guru
pemimpin; yakni guru yang memosisikan dirinya sebagai fasilitator yang baik
dalam menumbuhkan minat belajar dan menggali kecerdasan anak didiknya.
Untuk itu,
menjadi kewajiban sebetulnya bagi sebuah sekolah untuk membangun tradisi
diskusi (focus group discussion/FGD) bagi setiap guru. Harus disediakan satu
waktu luang (2-3 jam) dalam sebulan atau sekali dalam dua minggu untuk
mendiskusikan tentang perkembangan mutakhir dunia pendidikan, perkembangan
belajar anak didik, dan kendala-kendala guru dalam kegiatan belajar-mengajar.
Agar tumbuh
minat baca dan menulis guru, sekolah harus mewajibakan setiap guru sekali
sebulan untuk membaca buku pendidikan dan kalau bisa buku yang baru terbit
serta menulis resensinya. Sekolah harus mengalokasikan anggaran untuk membeli
satu buku baru tentang pendidikan setiap bulan. Guru-guru yang mendapat tugas
resensi akan membedah hasil bacaanya tersebut didepan guru-guru yang lain pada
saat FGD. Dengan kegiatan bedah buku ini otak guru akan tetap terasah.
Kegiatan
berdiskusi, membaca, dan menulis akan membuat guru menjadi berkualitas. Untuk
itu, harus ada usaha sunggguh-sungguh dari pihak sekolah dan dinas pendidikan
serta stakeholder pendidikan lainnya untuk mewujudkannya. Karena pendidikan
yang bermutu hanya bisa terwujud oleh guru yang berkualitas. Semakin
berkualitas guru, maka semakin bermutu pula pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar