Selasa, 12 Desember 2017

Menjadi Guru Adalah Keputusan Hebat

Mau jadi guru? Ternyata jadi guru itu tidak segampang yang dibayangkan. Awalnya saya berasumsi bahwa menjadi guru itu adalah hal yang mudah karena sudah ada panduan, tinggal memberikan instruksi ke murid lalu tunggu mereka selesai mengerjakan, pulang ke rumah  tidak sampai larut malam seperti pekerja lainnya, bahkan bisa menjalankan pekerjaan yang lain. Namun asumsi saya salah besar.

Guru
Secara formal, guru adalah seorang pengajar di sekolah yang memiliki kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan formal minimal berstatus sarjana, dan telah memiliki ketetapan hukum yang sah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru dan dosen yang berlaku di Indonesia.
Guru adalah seorang pendidik sebagai insan yang mulia dan berjasa. Karena merekalah yang bertanggungjawab mendidik manusia untuk melahirkan generasi yang cerdas dan cakap serta sanggup melaksanakan tugas terhadap diri, keluarga, masyarakat dan negara. Guru memiliki beberapa peranan, yakni sebagai pendidik, pembimbing dan pendorong. Dia juga penyampai ilmu, penggerak dan penasihat. Ini berarti, guru atau pendidik mempunyai tugas dan tanggungjawab yang berat. Oleh karena itu guru bukanlah profesi sembarangan, di tangan merekalah masa depan murid dipertaruhkan.
Tugas seorang guru adalah mengubah orang yang bodoh menjadi orang yang pintar, mengubah yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Selain itu tingkah lakunya menjadi panutan bagi semua orang. Inilah yang menjadi nilai lebih profesi ini dibandingkan dengan profesi lain, benar-benar istimewa bekerja sebagai guru.
Kedudukan guru merupakan kedudukan yang dihormati sebagai pembimbing di dalam keilmuan sehingga menjadi penyemangat dan inspirasi bagi muridnya untuk memilih bidang pekerjaan yang akan ditekuninya di masa depan. Banyak tokoh-tokoh besar di dunia siapapun itu, mereka tidak akan seperti itu kalau tidak dididik oleh seorang guru yang hebat. Guru bangga jika melihat anak didiknya melampaui capaiannya, karena ia telah berhasil berbuat sesuatu yang berguna bagi semua orang dengan ilmunya.
Kemajuan sebuah bangsa pun ditentukan oleh kemampuan para pendidiknya. Tanpa figur pendidik, mungkin bangsa Indonesia tidak akan dapat menikmati hasil jerih payah putra-putri bangsa yang sudah mendorong perkembangan tersebut. Pencapaian Indonesia hingga saat ini tidak terlepas dari peran guru yang telah membimbing anak muridnya menjadi manusia dewasa dan berperan aktif dalam pembangunan Indonesia.
Guru juga dianggap sebagai pahlawan pembangunan, karena di tangan mereka akan lahir pahlawan-pahlawan pembangunan yang akan mengisi ruang-ruang publik di negeri ini. Guru yang ideal, bukan sekedar guru yang memenuhi syarat-syarat teknik: seperti pintar, pandai, atau pakar di bidang ilmu yang dimiliki; melainkan yang jauh lebih penting dari itu semua, guru harus bisa menempatkan dirinya sebagai "agent of change".
Kebanggan dan kepuasan menjadi seorang guru ialah melakukan suatu pekerjaan mulia untuk memberikan ilmu kepada anak bangsa sehingga nantinya mereka akan menjadi manusia yang lebih baik serta mendapatkan pahala yang tak pernah berhenti mengalir untuk seorang guru yang telah berjasa dalam mencerdaskan dan mendidik anak-anak tersebut walaupun guru tersebut telah tiada.

Tantangan
Terlepas dari itu, perlu diketahui bahwa menjadi seorang guru adalah sebuah tantangan yang sangat berat yang harus dilalui dengan penuh kesabaran dan komitmen yang tinggi. Salah satunya bagaimana kita dihadapkan dengan sebuah karakter  yang berbeda dan bagaimana kita dapat mendidik dari perbedaan karakter, namun seorang guru dituntut dapat mengemban tugas untuk mencerdaskan anak bangsa, sehingga hal ini menuntut seorang guru untuk memiliki jiwa sebagai seorang pendidik. Seorang guru harus menjadi bagian penting dalam perkembangan anak didiknya dan harus mampu memahami karakter setiap anak didiknya sehingga dapat menjalin keakraban dan kebersamaan yang nantinya dapat membantu dalam proses mendidik dan mengajarkan ilmu kepada siswa dan pada akhirnya dapat memotivasi dan mendorong siswanya untuk dapat meraih cita-cita yang diimpikan.
Menjadi seorang guru tidak hanya sekedar lulusan sarjana pendidikan atau magister pendidikan, tapi lebih dari itu ada kompetensi-kompetensi lain yang juga harus di penuhi. Ada empat kompetensi yang harus dikembangkan yaitu kompetensi profesional, pedagogik, individual dan sosial.
Menjalani keseharian sebagai seorang guru di sekolah, berarti harus berani menyembunyikan perasaan susah, sedih, lelah yang sedang dirasakan. Di depan siswa semua harus terlihat baik-baik saja. Karena siswa tidak akan senang jika melihat wajah gurunya penuh dengan masalah di depan mereka. Apalagi latar belakang keluarga mereka juga berbeda-beda. Kalau mereka datang dari keluarga mainstream, tidak akan ada masalah baru. Tapi di tempat saya mengajar saat itu, kebanyakan peserta didik berasal dari keluarga antimainstream. Jadi, guru tidak boleh tampil penuh masalah karena akan berdampak menambah masalah.
Begitu banyak tugas dan tanggung jawab seorang guru. Tidak hanya cukup selesai sampai di ruang kelas atau lingkungan sekolah. Selesai tugas mengajar ada tugas perencanaan yang harus disiapkan untuk hari berikutnya. Seperti membuat RPP sebelum mengajar,  mengoreksi tugas murid, membuat media pembelajaran, dan harus mengikuti program peningkatan mutu berupa workshop, belum lagi kalau ada sederet kegiaatan lain.
Profesi guru ternyata tidak bisa seenaknya kita bawa. Kalau pangkat guru sudah melekat, segala perilaku, tingkah polah, dan ucapan baik secara langsung atau tidak akan dipantau oleh masyarakat. Dari mulai dibangku kuliah pun, semua itu sudah dibiasakan. Misalnya seperti  dari cara berpakaian, cara berbicara, tidak boleh makan minum sambil berdiri, dan lain sebagainya. Karena seorang guru akan menjadi panutan bagi peserta didiknya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Setelah dipikir-pikir, ternyata kontrak kerja guru itu bukan 5-7 jam sehari, tetapi lebih dari itu atau bahkan full 24 jam. Sehari penuh, artinya selepas pulang mengajar, tingkah laku guru akan menjadi cerminan murid-muridnya. Percaya atau tidak ini memang benar bahwa apa yang guru lakukan akan berdampak pada kinerja dan tingkah laku anak didik. Bahkan ada pepatah “guru kencing berdiri murid kencing berlari”.
Coba ingat dan cermati kejadian di kelas. Saya yakin seorang guru pernah mengalami kejadian betapa sulitnya mengarahkan si A yang petakilan, lompat sana lompat sini, usil terhadap teman, dan belum bisa memahami materi. Lain lagi dengan si B, yang malas untuk belajar. Ada si C yang sering berbicara sendiri, asik sendiri. Ada juga yang gampang nangis, hanya karena hal yang sederhana. Mungkin masih ada lagi segudang tantangan yang dihadapi guru di kelas. Ternyata banyak PR guru dan tantangan yang harus diselesaikan.
Ketika seorang memutuskan menjadi seorang guru, maka sejak saat itu ia telah berkomitmen untuk memikul tanggung jawab dalam mendidik para generasi muda. Mereka meluangkan hampir sebagian besar hidupnya untuk belajar dan mengajar supaya anak didik mereka sukses dalam belajar dan sukses dalam hidup. Bahkan masyarakat percaya bahwa guru-guru di sekolah akan mampu membuat anak-anak mereka menjadi orang sukses. Kalau seandainya gagal mereka menghujat bahwa gurunya tidak becus mendidik. Apakah hal yang seperti ini mudah? Tidak! Ini sangat sulit bagi guru. Guru juga manusia, ia sama dengan orang-orang kebanyakan yang punya masalah, punya kebutuhan. Tapi di lain pihak ia harus menjalankan tugasnya yang menurut saya tugas yang mereka pikul sangat berat.
Melihat tantangan seberat itu, saya sempat bertanya pada diri saya sendiri. Apakah saya bisa? Hingga pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah penguatan dari dalam diri sendiri. Bahwa mengenai tugas seorang guru adalah tugas mulia, tugas yang berat, karena lewat gurulah calon-calon pemimpin bangsa akan dibentuk. Lewat karakter yang selalu ditanamkan, lewat etika, moral dan akhlak yang selalu ditekankan. Semoga saja saya akan bisa berproses menjadi guru yang menginspirasi dan memotivasi untuk selalu bergerak kearah kebaikan. Toh, Allah SWT sudah menjanjikan “bersama kesulitan pasti ada kemudahan.”

Kesejahteraan
Memang benar kesejahteraan guru saat ini memang lebih terjamin. Terlebih karena adanya sertifikasi. Namun itu hanya guru pegawai negeri. Saat guru pegawai negeri sudah bisa menghela nafas lega, masih ada pendidik lain yang hanya bisa gigit jari yaitu guru honorer. Banyak janji dan wacana pemerintah memperbaiki kesejahteraan guru honorer, tapi nyatanya nasib mereka masih begitu-begitu saja.
Ada yang pernah berkata pada saya kalau ingin kaya harta, hindarilah pekerjaan guru. Menjadi guru tidak akan menjadikan seseorang kaya harta, melainkan kaya pengalaman. Kesejahteraan guru yang masih berstatus honorer masih memperihatinkan. Imbalan yang diperoleh oleh  guru tidak sebanding dengan resiko dan kerja  kerasnya. Saat saya sedang observasi dan praktik mengajar disekolah, tidak sengaja saya melihat daftar gaji guru di SD tersebut  pada selembaran kertas. Saya melihat gaji guru honorer hanya 700.000, bahkan ada yang hanya mendapat upah 500.000. Kemudian saya bertanya pada saudara saya yang kebetulan guru SD juga. Ternyata sampai saat ini jam mengajar guru di sekolah tidak dihitung setiap kali mengajar, namun 1 minggu mengajar untuk perhitungan 1 bulan. Misalkan seorang guru dibayar 20.000 untuk 1 jam pelajaran (35 menit), seminggu mengajar 35 jam, maka gaji yang diterimanya mengajar selama 1 bulan adalah 700.000 (20.000 x 35 jam), tidak dikali 4 minggu. Tidak heran, banyak guru yang harus mencari tambahan mulai dari mengajar di beberapa sekolah, membuka jasa pelajaran tambahan atau les, hingga mencari pekerjaan sampingan lainnya harus dilakukan untuk memperoleh pendapatan yang layak. Waktu kerja tak menentu. Kesibukannya mungkin tak kalah dengan direktur ataupun karyawan swasta yang gajinya berjuta-juta. Yah, apapun dilakukan demi memenuhi panggilan hati sekaligus memenuhi kebutuhan diri.
Kalau seperti ini kenyataan di dunia kerja pelan-pelan akan menyadarkan seorang guru bahwa idealisme di kampus tidak bisa mutlak diberlakukan. Misalkan rencana pembelajaran yang dibuat begitu sempurna ketika di kampus, tidak akan berlaku ketika diterapkan di sekolah. Beberapa faktor penyebabnya karena sarana prasarana yang tidak mendukung, ataupun godaan bertindak curang karena idealisme tidak sebanding dengan upah yang diterima.
Bila ditanya apa keinginan guru, pastinya tidak muluk-muluk. Guru honorer tidak ingin gaji yang setara direktur utama ataupun pejabat di istana negara. Mereka hanya ingin diakui sebagai tenaga pendidik yang ikut menyumbang dalam misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Kerja kerasnya tak kalah dengan guru-guru yang bersertifikasi. Dedikasi untuk membantu para siswa belajar tidak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan dengan gaji yang mungkin tak cukup untuk setengah bulan, semangatnya untuk mengajar dan berbagi ilmu tidak berkurang. Kerja keras tetap dilakukan, meski upah tidak berimbang.
Bila ada yang tidak setuju karena merasa tak pantas bila seorang guru mengharapkan gaji yang besar, tentunya harus berpikir ulang. Memang benar, guru adalah profesi yang begitu dekat dengan hati. Ketulusan dan kasih sayang serta dedikasi yang tinggi mutlak perlu untuk menyiapkan generasi-generasi hebat yang menjalankan roda-roda negara dan kehidupan ini. Akan terlihat tidak etis dan terkesan materialistis bila guru menuntut kenaikan gaji. Tapi bukankah kita juga wajib menghargai jasa-jasa mereka? Caranya dengan lebih memikirkan kesejahteraannya. Karena bagaimana kita mengharapkan hidup yang sejahtera, bila agen pencerdas kehidupan bangsa justru hidup dalam duka derita?
Ya, tapi apapun faktanya, menjadi guru tetaplah adalah hal yang mulia. Yang bertahan adalah yang mampu melewati seleksi alam di awal karir keguruan. Patutlah kita berbangga dan berbahagia saat ini jika kita berprofesi sebagai seorang guru ataupun calon guru, karena ada banyak manfaat yang dapat kita berikan kepada anak didik kita sehingga nantinya mereka dapat menjadi generasi muda yang berguna dan berprestasi di masa depan. Selain itu jadilah seorang guru yang bersikap dan berakhlak baik karena kita adalah sebagai suri tauladan di tengah masyarakat terlebih menjadi teladan bagi siswa sehingga patutlah memberikan contoh yang baik kepada para siswa sehingga mereka dapat mencontoh dan meneladaninya dikemudian hari.

Jumat, 30 Desember 2016

Tokoh Filsafat Islam “Ibnu Rusyd” dan Pemikirannya


1.      Sejarah Kelahirannya
Nama asli dari Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd, beliau dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/ 1126 M, 15 tahun setelah kematiannya imam ghazali. Di dunia barat dia lebih terkenal dengan sebutan Averros, sedang di dunia islam sendiri lebih terkenal dengan nama ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd adalah keturunan keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh keilmuwan, sedang ayah dan kakeknya adalah mantan hakim di andalus. Pada tahun 565 H/ 1169 M dia diangkat menjadi seorang hakim di Seville dan Cordova. Dan pada tahun 1173 ia menjadi ketua mahkamah agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.
Salah satu faktor yang membuatnya menjadi seorang ilmuwan adalah karena dia tumbuh dan hidup dalam keluarga yang Ghirah-nya besar sekali dalam bidang keilmuwan. Akan tetapi yang menjadi faktor utamanya karena ketajamannya dalam berpikir serta kejeniusan otaknya. Dengan semua faktor-faktor di atas, tidaklah heran apabila dia menjadi seorang ilmuwan Muslim yang terkemuka.
Hal yang sangat mengagumkan dari ibnu Rusyd adalah semenjak dia sudah mulai berakal (masa baligh) hampir semua hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan membaca. Tak pernah dia melewatkan waktunya selain untuk berpikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan ketika malam pernikahannya. Dengan keadaan seperti ini, membuat pemikirannya semakin tajam dan kuat dari waktu ke waktu.
Kehidupannya sebagai seorang hakim tidaklah mulus, ibnu Rusd pernah mengalami akan tuduhan pahit, yang pada dasarnya hanya untuk keperluan mobilisasi menghadapi pemberontakkan Kristen Spanyol, dia di tuduh kafir, lalu dia di adili dan sebagai hukumannya dia di buang ke Lucena, dekat Cordova. Tidak hanya itu saja, semua jabatannya sebagai hakim mahkamah agung dicopot serta semua bukunya di bakar, kecuali buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni (sains), seperti kedokteran, matematika dan astronomi.
Setahun lamanya ibnu Rusyd mengalami masa yang sangat getir itu, dan pada tahun 1197 M, khlifah mencabut hukumannya dan mengembalikkan semua pangkat yang pernah dia pegang sebelumnya. Ibnu Rusyd meninggal 10 desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijriyah.
2.      Karyanya
Tulisan ibnu Rusyd yang dapat kita dapati pada sekarang ini antara lain; Fashl al-Maqaal fi maa bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishaal, buku ini berisikan korelasi antara agama dan filsafat. Al-Kasyf’an Manaahij al-Sdillah fi Aqaa’id al-Millat, sedang buku ini berisikan tentang kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi. Tahaafut al-Tahaafut, kitab ini berisikan tentang kritikan terhadap imam ghazali yang kitabnya berjudul Tahaafut al-Falaasifah. Sedangkan karnyanya dalam bidah fiqih yaitu buku yang berjudul Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid.
3.      Hukum Sebab-Akibat dan Hubungannya dengan Mukjizat
Berikut ini merupakan bantahan Ibnu Ruysd terhadap imam ghazali mengenai sebab-akibat yang memang merupakan kejadian yang keluar dari kebiasaan;
Ø  Terdapat hubungan yang dharuuriiy (pasti) antara sebab dan akibat
Menurut ibnu rusyd, bahwasanya semua benda atau segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki sifat dan cirri tertentu yang disebut dengan zatiyah. Dengan arti bahwasanya untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada daya atau kekuatan yang telah ada sebelumnya. Menurut ibnu Rusyd, kita bisa mengenali mawjud yang ada ini dengan adanya hukum sebab-akibat zatiyah, maka dengan itu pula kita bisa membedakan antara satu dengan lainnya.
Misalnya, api yang sifat zatiyyah-nya adalah membakar, air yang sifat zatiyyah­-nya adalah membasahi. Sifat membakar dan membasahi ini adalah sifat zatiyyah-nya dan merupakan pembedan antara api dengan air, jika tidak ada sifat tertentu, tentunya air dan api sama saja, tidak ada bendanya, akan tetapi hal ini adalah sesuatu yang mustahil.
Ø  Hubungan sebab-akibat dengan adat atau kebiasaan
Menurut ibnu rusyd, bahwasanya al-ghazali tidaklah jelas dalam mengemukakan pendapatnya mengenai sebab-akibat yang dianggap sebagai adat atau kebiasaan. Ibnu Rusyd mempertanyakan apakah yang al-ghazali maksud ini adalah adat fa’il (Allah), atau adat maujud, atau juga adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat terhadap maujud ini.
Kalaulah yang dimaksudnya adalah adat Allah, hal ini mustahil karena apa yang disebut dengan adat adalah suatu kemampuan atau potensi yang diusahakan oleh fa’il yang mengkibatkan berulang-ulangnya perhatin mawjud ini. Hal ini sangat bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa sunnatullah tidak akan berganti dan tidak berubah[1]. Jika yang dimaksudnya adalah adat bagi maujud, maka hal ini hanya akan berlaku bagi yang memiliki roh atau nyawa karena bagi yang selain itu, bukanlah adat namanya, tetapi tabia’at. Dan apabila yang dia maksud adalah adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat terhadap mawjud, sepert si fulan baik san sebagainya, maka hal ini mawjud terlepas daripada nisbat (hubungan)-nya kepada fa’il (Allah).
Ø  Hubungan sebab-akibat dengan akal
Menurut ibnu Rusyd; pengetahuan akal tidak lebih daripada pengetahuan tentang gejala yang mawjud beserta sebab-akibatnya yang menyertainya. Pengingkaran terhadap sebab-akibat berarti pengingkaran terhadap akal dan ilmu pengetahuan.
Ø  Hubungan sebab-akibat dengan mukjizat
Di awali dengan pendapatnya imam Ghazali, ketika seseorang percaya akan keniscayaan, maka akan mengakibatkannya tidak percaya terhadap adanya mukjizat nabi. Mengenai hal ini, ibnu rusyd membedakan antara dua mukjizat; mukjizat al-Barraaniy dan mukjizat al-Jawaaniy.
Mukjizat al-Barraaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang Nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti tongkat nabi musa yang merumbah menjadi ular, nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati, dan lainnya. Mukjizat seperti ini yang saat itu dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan diluar kebiasaan dan boleh jadi satu waktu dapat diungkapkan oleh pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan dapat mengungkapkannya, maka ia tidak dipandang sebagai mukjizat lagi.
Mukjizat al-Jawaaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti mukjizatNabi Muhammad yakni al-Quran. Mukjizat seperti inilah yang dipandang oleh ibnu Rusyd sebagai mukjizat yang sebenarnya, karena al-quran tidak dapat diungkapkan oleh pengetahuan (sains) dimana pun dan kapan pun.

Tokoh Filsafat Islam “Ibnu Miskawaih” dan Pemikirannya


1.      Sejarah Lahir
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M dan wafat di asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Februari 1030 M. Dari buku yang kami dapatkan, tidak ada penjelasan yang sangat rinci mengungkapkan biograpinya. Namun, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, bahwa ibnu miskawaih belajar sejarah terutama Taarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ibnu Kamil Al-Qadhi dan belajar filsafat kepada Ibnu Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya aristoteles.
Ibnu Miskawaih adalah seorang penganut syi’ah. Hal ini didasarkan pada pengabdiannya kepada sultan dan wazir-wazir syi’ah pada masa pemerintahan Bani Buwaihi (320 – 448 M). Dan ketika sultan Ahmad ‘Adhud Al-Daulah menjabat sebagai kepala pemerintahan, ibnu Miskawaih menduduki jabatan yang penting, seperti pengangkatannya sebagai Khazin, penjaga perpustakaan Negara dan bendarahara negara.
2.      Karyanya
Dalam karyanya dalam disiplin ilmu meliputi kedokteran, sejarah dan filsafat. Akan tetapi, dia lebih terkenal sebagai seorang filosof akhlak, (al-falsafat al-‘amaliyat) ketimbang dengan seorang filosof ketuhanan (al-falsafat al-nazhariyyat al-Illahiyat).
Dalam buku The History of the Muslim Philoshopy disebutkan bahwa karya tulisannya itu; Al-Fauz al-Akbar, al-Fauz al-Asghar, Tajaarib al-Umaan (sebuah sejarah tentang banjir besar yana ditulis pada tahun 369 H/ 979 M), Uns al-Fariid (yakni koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah), Tartiib al-Sa’adat ( isinya ahlak dan politik), al-Mustaufa isinya syair-syair pilihan), al-Jaami’, al-Siyaab, On the Simple Drugs (tentang kedokteran), On the composition of the Bajats (tentang kedokteran), Kitaab al-Ashribah (tentang minuman), Tahziib al-Akhlak (tentang akhlak), Risaalat fi al-Lazza wa al-Aalam fil jauhar al-Nafs, ajwibaat wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql, Al-Jawaab fi Al-Masaa’il al-Salas, Risaalat fi Jawaab fi Su’al Ali ibnu Muhammad Abuu Hayyan al-Shufii fi HAqiiqat al-‘Aql, dan Tharathat al-Nafs.
3.      Akhlak
Ibnu miskawaih yang terkenal sebagai seorang yang moralis berpendapat bahwa akhlak  adalah suatu sikap atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa berpikir dan sama sekali tidak ada pertimbangan. Dengan kata lain, ahklak adalah tindakan yang tidak ada sama sekali pertentangan dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Menurut kami, ungkapan beliau mengenai hal ini sama dengan perkataan plato yang mengatakan bahwasanya cinta adalah gerak jiwa yang kosong.
Ibnu Miskawaih juga membagi tingkah laku pada dua unsur yakni; unsur watak naluriah dan unsur watak kebiasaan dengan melakukan latihan (riyadhoh). Serta dia berpandangan bahwa jiwa mempunyai tiga daya yang mana apabila ketigak daya ini beserta sifat-sifatnya selaras, maka akan menimbulkan sifat yang keempat yakni adil.
Adapun tiga daya yang dia maksud adalah; daya pikir, daya marah, dan daya keinginan. Sedangkan yang dia maksud dengan sifat utama mengenai ketiga daya ini antara lain adalah; sifat hikmah merupakan sifat utama bagi jiwa yang berpikir yang mana hikmah ini lahir dari ilmu. Rasa berani merupakan sifat utama bagi jiwa marah yang mana sifat berani ini timbul dari sifat hilm (mawas diri). Sedangkan sifat utama bagi jiwa keinginan adalah sifat murah yang merupakan sifat utamanya yang lahir dati ‘iffah (memelihara kehormatan diri).
Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain; hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifati keempat akan timbul darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.

SERTIFIKAT SEMINAR NASIONAL "STRUKTUR FUNDAMENTAL PEDAGOGIK KRITIS PAULO FREIRE"


Tokoh Filsafat Islam “Al-Razi” dan Pemikirannya


1.      Sejarah Lahir
Nama lengkap al-razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan barat, beliau dikenal dengan sebutan Razhes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhoges, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 H/865 M. Perlu diingat bahwasanya tempat yang ia tinggali yakni Iran ,yang sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia, merupakan tempat dimana terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan terutama kebudayaan Yunani dan Persia. Dengan suasana seperti lingkungan seperti ini mendorong bakat Al-Razi tampil sebagai seorang intelektual.
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggil al-razi, yakni Abu Hatim Al-Razi dan Najmun Al-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan Al-Razi dengan yang lainnya, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).
Beliau pernah menjadi tukang intan pada mudanya, penukar uang, dan pemain kecapi. Lalu beliau memusatkan perhatiannya pada ilmu kimia dan meninggalkannya akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya yang menyebabkan mata terserang penyakit. Setelah itu, beliau mendalami ilmu kedokterang dan filsafat yang ada pada masa itu.
Ayahnya berharap Al-razi menjadi seorang pedagang besar, maka dari itu ayahnya membekali Al-razi ilmu-ilmu perdagangan. Akan tetapi, Al-Razi lebih memilih kepada bidang intelektual ketimbang dengan perdagangan karena menurutnya bidang intelektual merupakan perkara yang lebih besar ketimbang urusan dengan materi belaka.
Karena ketekunannya dalam bidang kedoteran dan filsafat, Al-Razi menjadi terkenal sebagai dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, oleh karena tiu dia sering memberi pengobata cuma-Cuma kepada orang miskin. Dan karena reputasinya dalam kedokteran, dia pernah mejabat sebagai kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian dia berpindak ke Baghdad dan memimpin rumah saki di sana pada masa pemerintahan Khlifah Al-Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian id berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.
2.      Karyanya
Mengenai karyanya, tentu berkaitan dengan siapa dia belajar, dan siapa yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya. Menurut Al-Nadim, beliau belajar filsafat kepada Al-Bakhli yang menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Ia sangat rajin dalam menulis dan membaca, mungkin inilah yang menyebabkan penglihatannya secara berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Ia menolak akan untuk di obati dengan mengatakan bahwa pengobatan untuknya itu sia-sia karena tak sebentar lagi dia akan meninggal.
Tak heran jika karya-karyanya sangat banyak sekali bahkan dia menuliskan pada salah satu kitabnya, bahwasanya dia menulis tidak kurang sari 200 karya tulis dalam berbagai ilmu pengetahuan. Karya-karyanya yang meliputi:
1)        Ilmu Falak,
2)        Matematika,
3)        Bidang kimia, yang terkenal dengan Kitab As-rar
4)        Bidang kedoteran, yang terkenal dengan al-mansuri Liber al-Almansoris
5)        Bidang Medis, yang terkenal dengan kitab Al-Hawi,
6)        Mengenai penyakit cacar dan pencegahannya, yakni Kitab al-Judar wa al-Hasbah
Sebagian dari karyanya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat dan buku-buku yang lainnya seperti Thib al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafah dan lain sebagainya. Dia terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding dengan sebagai filosof.
3.      Filsafatnya
Lima Kekal ( Al-Qadiim )
Karena filsafatnya terkenal dengan 5 yang kekal, maka kami sebagai pemakal memasukannya dalam makalah kami. Sebenarnya pemikirannya sangat banyak, akan tetapi yang akan kami bahas disini hanya pada pemikirannya mengenai 5 hal yang kekal.
5 hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut). Dan dia juga mengklasifikasinya pada yang hidup dan aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah dan jiwa, yang tidak hidup dan pasif itu materi, yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif itu ruang dan waktu.
Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia menciptakan ala mini dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang kekal selain Allah, akan tetapi kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah. Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama, bahwasanya ia juga kekal karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.
Sebelumnya dia berpendat bahwa materi bersifat kekal dank arena materi ini menempati ruang, maka Al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolute) juga kekal. Ruang dalam pandangannya dibedakan menjadi dua kategori, yakni ruang pertikular yang terbatas dab terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya,  dan ruang universal yang tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut) pada dua kategori yakni; waktu yang absolut/mutlak yang bersifat qadiim dan substansi yang bergerak atau yang mengalir (jauhar yajri), pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur. Waktu mahsur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal. Menurutnya, bahwasanya waktu yang kekal sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya waktu yang terbatas.

Tokoh Filsafat Islam “Ibnu Sina” dan Pemikirannya


1.      Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan didesa Afsyanah, dekat Buhkara, Persia Utara pada 370 H. Ia mempunyai kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri.
2.      Pemikirannya
a)            Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia kedalam empat kelompok:  mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka  yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang. Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya  tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan minuman. Pelambangan dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya.
b)           Tasawuf
Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.

Tokoh Filsafat Islam “Al-Farabi” dan Pemikirannya


1.      Biografi
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota Atrar), Turkistan pada 257 H. Pada tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah al-Hamdan, sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
2.      Pemikirannya
a)      Pemaduan Filsafat
Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran  filsafat yang berkembang sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea, karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan:
1)      Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar.
2) Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.
3)   Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak.
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak kebenarannya.
b)     Jiwa
Adapun  jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.
c)      Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’ al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan  kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.
Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.
Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah memangku suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat, menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi  pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan.