Kesultanan Banten
merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang
perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan
penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten
berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.
Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan
multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang
dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan Ageng
Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah
dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta
juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke
Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan
menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari
tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas
kapal-kapal dagang menuju Banten.
Perang saudara
Perang saudara
Sekitar tahun 1680
muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan
pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini
dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan
dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan.
Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul
Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London
tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang
ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang
disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai
oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran
Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda.
Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus
mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada
dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim
Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung
dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan
Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan
Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan
menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj
untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya
ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler,
namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos
pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta
pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7
Februari 1684 sampai di Batavia.
Penurunan
Penurunan
Bantuan dan dukungan
VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di
antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti
tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral
kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian
dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC
memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung. Selain itu berdasarkan
perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian
akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah meninggalnya
Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan
Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan
dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad
Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun,
selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan
Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang
Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang
berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa
berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak ketidakpuasan
masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan
rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad
Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa.
Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC
dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah
menjadi vassal dari VOC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar