Jumat, 30 Desember 2016

Al-Qur’ān Dan Ḥadīts Sebagai Sumber dan Inspirasi Falsafah Islam

Dalam kacamata tradisi intelektual Barat, falsafat Islam terlihat hanya sebatas falsafat Yunani dalam baju Arab yang salah satu dari perannya adalah menyalurkan unsur-unsur penting tertentu dalam warisan zaman kuno kepada Barat abad pertengahan. Tetapi, jika kita melihat aspek historis berdasarkan tradisi filosofis Islam yang mempunyai perkembangan intelektual yang tidak diragukan lagi oleh dunia sejarah berkesinambungan dua belas abad dan masih tetap hidup hingga sampai saat ini, menjadi sangat jelas bahwa falsafat Islam seperti hal-hal lainnya yang berlabel ”Islam”, berakar pada al-Qur’ân dan Ḥadīts .
Mengapa para intelektual Barat berpendapat negatif seperti di atas, tak lain disebabkan oleh dua faktor yang begitu menonjol. Pertama, kegairahan para terpelajar Muslim dalam menelaah, mengulas dan menerjemahkan teks-teks peradaban yunani.  Kedua, minimnya penguasaan kalangan  sarjana Barat tentang literatur kebudayaan Islam secara umum dan perkembangan pengetahuan di Persia secara khusus. Jelas semua itu yang mempengaruhi pola berpikir mereka sehingga menimbulkan persepsi yang sedemikian rupa.
Falsafah Islam adalah (bersifat) Islam, bukan karena ia dibudidayakan di Dunia Islam dan dilakukan oleh kaum muslim, melainkan juga karena menjabarkan prinsip-prinsip dan menimba inspirasi dari sumber-sumber wahyu Islam, serta menangani banyak permasalahan dengan sumber itu kendatipun ada klaim-klaim yang berlawanan dari pada penentangnya. Tidak hanya sebatas pembudidayaan falsafah Yunani di dunia Islam yang dilakukan oleh para filsuf Muslim, melainkan juga karena menjabarkan atau mendeskripsikan prinsip-prinsip filosofis dan menimba inspirasi dari sumber-sumber wahyu Islam serta menangani banyak persoalan-persoalan yang bersifat filosofis dengan sumber-sumber yang ada. Semua filsuf Muslim yang diawali oleh al-Kindî sampai filsuf saat ini ’Allâmah Thabâthabâ’î yang hidup dan bernafas dalam satu komunitas yang diwarnai oleh realitas al-Qur’ân dan Sunnah Nabi. Yang demikian merupakan salah satu indikasi yang bertentangan dengan kacamata tradisi intelektual Barat yang menganggap bahwa falsafat Islam terlihat hanya sebatas falsafat Yunani dalam baju Arab.
Setidak-tidaknya ada dua faktor yang dapat membuktikan bahwa prinsip-prinsip falsafat Islam berakar dari al-Qurân dan Sunnah. Pertama, dari segi sumber kita mendapatkan semangat kuat para filsuf Muslim dalam bertindak selalu berlandaskan kepada al-Qur’ân dan Sunnah. Sebagaimana dalam ketentuan syarî’at Islam, setiap Muslim harus hidup berlandaskan kepada Al-Qur’ān dan Sunnah. Begitu pula dengan para filsuf maupun para intelektual Muslim dalam bertindak harus berlandaskan kepada keduanya. Al-Qur’ân dan Sunnah telah merombak pola berfalsafat dalam Islam secara radikal sehingga lahirlah hal yang disebut sebagai falsafat profetik. Jadi, kandungan al-Qur’ân dan pancarannya kepada Nabi Muhammad SAW mampu menyinari setiap kajian falsafat dan pengetahuan dalam Islam dan ini merupakan satu bukti bahwa ia adalah seorang failasuf.
Kedua, falsafah dalam al-Qur’ân adalah al-Hikmah. Kata tersebut tercatat dalam al-Qur’ân  berkali-kali di dalamnya, sedangkan failasuf orang yang menekuni falsafah/berfalsafah tercatat sebagai al-Hakîm. Seperti kita ketahui mengenai para nabi baik yang harus kita ketahui maupun tidak mengajarkan al-Kitâb dan al-Hikmah. Dengan kata lain para nabi adalah para failasuf.
Selain dari itu, dalam surah Luqmân yang dimulai huruf-huruf simbolik yaitu alif, lâm, mîm yang kemudian diikuti oleh ayat selanjutnya yang artinya: ”inilah ayat-ayat al-Qur’ân yang mengandung hikmah” (al-Kitâb al-Hakîm), yang menyebutkan secara langsung istilah hikmah. Kemudian dalam ayat 12 surah ini dinyatakan, “ dan sesungguhnya telah kami berikan hikmah (kebijaksanaan) kepada luqman, yaitu: ‘ Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur kepada dirinya sendiri, dan barang siapa tidak bersyukur maka sesungguhnya Allah maha kaya dan lagi maha terpuji.” dalam ayat ini tampak jelas bahwa pemberian Hikmah dianggap sebagai anugerah bagi orang yang mau berterimakasih , kebenaran ini ditandaskan lebih lanjut oleh ayat yang terkenal, “Allah memberikan hikmah (kebijaksanaan) kepada siapa yang dikehendakinya,. Dan barang siapa yang memberi hikmah itu, sunguh telah diberi kebajikan yang banyak,….” (QS. Al-Baqarah : 269).
Realitas al-Qur’ân dan Wahyu yang dapat diakses oleh manusia harus menduduki posisi sentral bagi setiap orang yang hendak berfalsafat dalam dunia Islam. Falsafat Islam sangat erat sekali kaitannnya dengan dimensi eksternal al-Qur’ân (syarî’at) maupun dengan kebenaran internal (haqîqah) yang merupakan jantung segala sesuatu hal dalam Islam. Hal ini akan mengarahkannya kepada sejenis falsafat yang berorientasikan menempatkan kitab wahyu bukan hanya sekedar sumber primer yang tertinggi dalam pengetahuan bagi hukum-hukum keagamaan (syarî’at), melainkan juga sebagai sumber primer yang tertinggi dalam pengetahuan bagi hakikat eksistensi dari segala sumber eksistensi, karena pada dasarnya hakikat dari segala hakikat adalah Tuhan itu sendiri.
Sebagian ahli syarî’at mengambil sikap kontra terhadap falsafat dan sebagian lagi tidak. Namun, pada kenyataannya para failasuf terkemuka seperti Ibn Rusyd, Ibn Sînâ dan para filsuf lainnya merupakan tokoh-tokoh yang ahli dalam bidang syarî’at sekaligus mempunyai otoritas dalam mengambil suatu ketentuan hukum dalam hal tersebut.
Adapun pikiran-pikiran dalam falsafat Yunani jelas menjadi materi kajian oleh para failasuf muslim. Bila materi-materi yang dikaji yang berasal dari falsafat Yunani itu memiliki bentuk-bentuk atau rumusan-rumusan yang sejalan atau tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran wahyu dalam Islam, maka dapat saja langsung diambil sepenuhnya menjadi bagian dalam falsafat Islam, maka materi-materi demikian perlu diberi bentuk yang sesuai dengan ajaran wahyu dalam Islam. Sehinggakenapa orang Islam masih menggunakan pemikiran Yunani, sementara sudah ada dalam Al-Qur’ān?Karena untuk memberi corak yang baru, terutama pengaruhnya dalam bentuk pemikiran, pengaruh logika yunani besar sekali, ilmu-ilmu Islam diberi warna baru, ditempa menurut pola Yunani dan disusun sesuai sistem Yunani. Jadi logika Yunani mempunyai pengaruh yang sangat besar pada alam pemikiran Islam (di zaman bani Abbas). Walaupun dalam Islam sendiri sudah ada isi dari falsafat itu, dan yang membedakan antara falsafat Islam dengan Yunani adalah dalam bentuk isi nya yang berbeda antara falsafat Yunani dengan Islam. Falsafat Islam dapat diibaratkan seperti hubungan antara materi dan bentuk. Islam (yakni wahyunya) telah memberi bentuk baru kepada falsafat Yunani sehingga falsafat dengan bentuk yang baru tidak pantas lagi disebut falsafat Yunani. Ia hanya pantas disebut falsafat Islam karena pola-pola ajaran Islam yang erat kaitanya dengan masalah-masalah falsafat, telah membentuk falsafat Yunani sedemikian rupa sehingga bentuk-bentuk falsafatnya tak ada lagi yang bertentangan dengan bentuk ajaran wahyu dalam Islam.
Dengan demikian, kajian yang mendalam mengenai falsafat Islam selama dua belas abad lamanya mampu mengungkapkan peranan al-Qur’ân dan Ḥadīts  dalam perumusan, penjelasan, dan pemecahan seluruh problematika tradisi filosofis yang besar dan utama ini. Karena, falsafat Islam pada dasarnya merupakan hermeneutika filosofis dan teks sakral di samping memanfaatkan khazanah falsafat zaman purba kala. Itulah sebabnya mengapa falsafat Islam selama berabad-abad sampai hari ini merupakan salah satu faktor atau perspektif intelektual utama dalam peradaban Islam yang tertanam dalam al-Qur’ân dan Ḥadīts.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar