Dalam kacamata tradisi
intelektual Barat, falsafat Islam terlihat hanya sebatas falsafat Yunani dalam
baju Arab yang salah satu dari perannya adalah menyalurkan unsur-unsur penting
tertentu dalam warisan zaman kuno kepada Barat abad pertengahan. Tetapi, jika
kita melihat aspek historis berdasarkan tradisi filosofis Islam yang mempunyai
perkembangan intelektual yang tidak diragukan lagi oleh dunia sejarah
berkesinambungan dua belas abad dan masih tetap hidup hingga sampai saat ini,
menjadi sangat jelas bahwa falsafat Islam seperti hal-hal lainnya yang berlabel
”Islam”, berakar pada al-Qur’ân dan Ḥadīts .
Mengapa para intelektual Barat
berpendapat negatif seperti di atas, tak lain disebabkan oleh dua faktor yang
begitu menonjol. Pertama, kegairahan para terpelajar Muslim dalam
menelaah, mengulas dan menerjemahkan teks-teks peradaban yunani. Kedua,
minimnya penguasaan kalangan sarjana Barat tentang literatur kebudayaan
Islam secara umum dan perkembangan pengetahuan di Persia secara khusus. Jelas
semua itu yang mempengaruhi pola berpikir mereka sehingga menimbulkan persepsi
yang sedemikian rupa.
Falsafah Islam adalah
(bersifat) Islam, bukan karena ia dibudidayakan di Dunia Islam dan dilakukan
oleh kaum muslim, melainkan juga karena menjabarkan prinsip-prinsip dan menimba
inspirasi dari sumber-sumber wahyu Islam, serta menangani banyak permasalahan
dengan sumber itu kendatipun ada klaim-klaim yang berlawanan dari pada
penentangnya. Tidak hanya sebatas pembudidayaan falsafah Yunani di dunia Islam
yang dilakukan oleh para filsuf Muslim, melainkan juga karena menjabarkan atau
mendeskripsikan prinsip-prinsip filosofis dan menimba inspirasi dari
sumber-sumber wahyu Islam serta menangani banyak persoalan-persoalan yang
bersifat filosofis dengan sumber-sumber yang ada. Semua filsuf Muslim yang
diawali oleh al-Kindî sampai filsuf saat ini ’Allâmah Thabâthabâ’î yang hidup
dan bernafas dalam satu komunitas yang diwarnai oleh realitas al-Qur’ân dan
Sunnah Nabi. Yang demikian merupakan salah satu indikasi yang bertentangan
dengan kacamata tradisi intelektual Barat yang menganggap bahwa falsafat Islam
terlihat hanya sebatas falsafat Yunani dalam baju Arab.
Setidak-tidaknya ada dua
faktor yang dapat membuktikan bahwa prinsip-prinsip falsafat Islam berakar dari
al-Qurân dan Sunnah. Pertama, dari segi sumber kita mendapatkan semangat kuat
para filsuf Muslim dalam bertindak selalu berlandaskan kepada al-Qur’ân dan
Sunnah. Sebagaimana dalam ketentuan syarî’at Islam, setiap Muslim harus hidup
berlandaskan kepada Al-Qur’ān dan Sunnah. Begitu pula dengan para filsuf maupun
para intelektual Muslim dalam bertindak harus berlandaskan kepada keduanya.
Al-Qur’ân dan Sunnah telah merombak pola berfalsafat dalam Islam secara radikal
sehingga lahirlah hal yang disebut sebagai falsafat profetik. Jadi, kandungan
al-Qur’ân dan pancarannya kepada Nabi Muhammad SAW mampu menyinari setiap kajian
falsafat dan pengetahuan dalam Islam dan ini merupakan satu bukti bahwa ia
adalah seorang failasuf.
Kedua, falsafah dalam
al-Qur’ân adalah al-Hikmah. Kata tersebut tercatat dalam al-Qur’ân berkali-kali
di dalamnya, sedangkan failasuf orang yang menekuni falsafah/berfalsafah tercatat sebagai al-Hakîm.
Seperti kita ketahui mengenai para nabi baik yang harus kita ketahui maupun
tidak mengajarkan al-Kitâb dan al-Hikmah. Dengan kata lain para nabi adalah
para failasuf.
Selain dari itu, dalam surah
Luqmân yang dimulai huruf-huruf simbolik yaitu alif, lâm, mîm yang kemudian
diikuti oleh ayat selanjutnya yang artinya: ”inilah ayat-ayat al-Qur’ân yang
mengandung hikmah” (al-Kitâb al-Hakîm), yang menyebutkan secara langsung
istilah hikmah. Kemudian dalam ayat 12 surah ini dinyatakan, “ dan sesungguhnya
telah kami berikan hikmah (kebijaksanaan) kepada luqman, yaitu: ‘ Bersyukurlah
kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur
kepada dirinya sendiri, dan barang siapa tidak bersyukur maka sesungguhnya
Allah maha kaya dan lagi maha terpuji.” dalam ayat ini tampak jelas bahwa
pemberian Hikmah dianggap sebagai anugerah bagi orang yang mau berterimakasih ,
kebenaran ini ditandaskan lebih lanjut oleh ayat yang terkenal, “Allah
memberikan hikmah (kebijaksanaan) kepada siapa yang dikehendakinya,. Dan barang
siapa yang memberi hikmah itu, sunguh telah diberi kebajikan yang banyak,….”
(QS. Al-Baqarah : 269).
Realitas al-Qur’ân dan Wahyu
yang dapat diakses oleh manusia harus menduduki posisi sentral bagi setiap
orang yang hendak berfalsafat dalam dunia Islam. Falsafat Islam sangat erat
sekali kaitannnya dengan dimensi eksternal al-Qur’ân (syarî’at) maupun dengan
kebenaran internal (haqîqah) yang merupakan jantung segala sesuatu hal dalam
Islam. Hal ini akan mengarahkannya kepada sejenis falsafat yang berorientasikan
menempatkan kitab wahyu bukan hanya sekedar sumber primer yang tertinggi dalam
pengetahuan bagi hukum-hukum keagamaan (syarî’at), melainkan juga sebagai
sumber primer yang tertinggi dalam pengetahuan bagi hakikat eksistensi dari
segala sumber eksistensi, karena pada dasarnya hakikat dari segala hakikat
adalah Tuhan itu sendiri.
Sebagian ahli syarî’at
mengambil sikap kontra terhadap falsafat dan sebagian lagi tidak. Namun, pada
kenyataannya para failasuf terkemuka seperti Ibn Rusyd, Ibn Sînâ dan para
filsuf lainnya merupakan tokoh-tokoh yang ahli dalam bidang syarî’at sekaligus
mempunyai otoritas dalam mengambil suatu ketentuan hukum dalam hal tersebut.
Adapun pikiran-pikiran dalam
falsafat Yunani jelas menjadi materi kajian oleh para failasuf muslim. Bila
materi-materi yang dikaji yang berasal dari falsafat Yunani itu memiliki
bentuk-bentuk atau rumusan-rumusan yang sejalan atau tidak bertentangan dengan
ajaran-ajaran wahyu dalam Islam, maka dapat saja langsung diambil sepenuhnya
menjadi bagian dalam falsafat Islam, maka materi-materi demikian perlu diberi
bentuk yang sesuai dengan ajaran wahyu dalam Islam. Sehinggakenapa orang
Islam masih menggunakan pemikiran Yunani, sementara sudah ada dalam Al-Qur’ān?Karena
untuk memberi corak yang baru, terutama pengaruhnya dalam bentuk pemikiran,
pengaruh logika yunani besar sekali, ilmu-ilmu Islam diberi warna baru, ditempa
menurut pola Yunani dan disusun sesuai sistem Yunani. Jadi logika Yunani
mempunyai pengaruh yang sangat besar pada alam pemikiran Islam (di zaman bani
Abbas). Walaupun dalam Islam sendiri sudah ada isi dari falsafat itu, dan
yang membedakan antara falsafat Islam dengan Yunani adalah dalam bentuk isi nya
yang berbeda antara falsafat Yunani dengan Islam. Falsafat Islam dapat
diibaratkan seperti hubungan antara materi dan bentuk. Islam (yakni wahyunya)
telah memberi bentuk baru kepada falsafat Yunani sehingga falsafat dengan
bentuk yang baru tidak pantas lagi disebut falsafat Yunani. Ia hanya pantas
disebut falsafat Islam karena pola-pola ajaran Islam yang erat kaitanya dengan
masalah-masalah falsafat, telah membentuk falsafat Yunani sedemikian rupa
sehingga bentuk-bentuk falsafatnya tak ada lagi yang bertentangan dengan bentuk
ajaran wahyu dalam Islam.
Dengan demikian, kajian yang
mendalam mengenai falsafat Islam selama dua belas abad lamanya mampu
mengungkapkan peranan al-Qur’ân dan Ḥadīts dalam perumusan, penjelasan,
dan pemecahan seluruh problematika tradisi filosofis yang besar dan utama ini.
Karena, falsafat Islam pada dasarnya merupakan hermeneutika filosofis dan teks
sakral di samping memanfaatkan khazanah falsafat zaman purba kala. Itulah
sebabnya mengapa falsafat Islam selama berabad-abad sampai hari ini merupakan
salah satu faktor atau perspektif intelektual utama dalam peradaban Islam yang
tertanam dalam al-Qur’ân dan Ḥadīts.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar