Filsafat
agama merupakan filsafat yang membuat agama menjadi obyek penelitiannya. Filsafat
agama mengembangkan logika, teori pengetahuan dan metafisika agama. Kiranya
tidak perlu sebuah uraian panjang lebar tentang filsafat agama. Filsafat agama
adalah filsafat yang membuat agama menjadi obyek pemikirannya.
Dalam hal
ini, filsafat agama dibedakan dari beberapa ilmu yang juga mempelajari agama,
seperti antropologi budaya, sosiologi agama dan psikologi agama. Kekhasan
ilmu-ilmu itu adalah bahwa mereka bersifat deskriptif.
Antropologi
budaya meneliti pola kehidupan sebuah masyarakat dan kerangka spiritual hidup.
Dalam rangka itu, bentuk-bentuk penghayatan agama dalam masyarakat itu
diteliti. Antropologi mengamati dan berusaha ikut menghayati bagaimana
masyarakat yang diteliti menghayati Yang ilahi. Antropologi adalah ilmu
deskiptif. la tidak menilai apakah penghayatan itu baik atau buruk dan tidak
berusaha untuk mengubah penghayatan itu, melainkan berusaha untuk memahami apa
yang merupakan kenyataan keagamaan dalam masyarakat.
Sosiologi
agama meneliti hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat, khususnya
pengaruh agama terhadap kelakuan manusia dalam masyarakat. Sosiologi agama
dapat memberi petunjuk yang berharga untuk mengetahui, apa sebenarnya kedudukan
agama dalam sebuah masyarakat, apakah agama itu masih berpengaruh, apakah
masyarakat masih mentaatinya, apakah sikap-sikap masyarakat masih dipengaruhi
oleh agama.
Psikologi
agama meneliti hakekat, bentuk-bentuk dan perkembangan pengalaman religius pada
individu-individu dan kelompok-kelompok. Psikologi agama meneliti perasaan
religius dalam hati, pertobatan, semangat kenabian, dan perbedaan penghayatan
keagamaan dalam masyarakat-masyarakat sederhana dan dalam kebudayaan-kebudayaan
tinggi. Segala bentuk penghayatan keagamaan serta fungsinya dalam perkembangan
kepribadian diselidiki.
Berbeda
dengan ilmu-ilmu deskriptif, filsafat agama mendekati agama secara menyeluruh.
Filsafat agama mengembangkan logika, teori pengetahuan dan metafisika agama.
Filsafat agama dapat dijalankan oleh orang-orang beragama sendiri yang ingin
memahami dengan lebih mendalam arti, makna dan segi-segi hakiki agama-agama.
Masalah-masalah yang dipertanyakan antara lain: hubungan antara Allah, dunia
dan manusia, antara akal budi dan wahyu, pengetahuan dan iman, baik dan jahat,
sosok pengalaman Yang Kudus dan Yang Syaitani, apriori religius, faham-faham
seperti mitos dan lambang, dan akhrinya cara-cara untuk membuktikan
kerasionalan iman kepada Allah serta masalah "theodicea" yang telah
saya sebutkan.
Ada juga
filsafat agama yang reduktif (mau mengembalikan agama kepada salah satu
kebutuhan manusia dengan menghilangkan unsur transendensi), kritis (mau
menunjukkan agama sebagai bentuk penyelewengan dan kemunduran) dan anti agama
(mau menunjukkan bahwa agama adalah tipuan belaka).
Reduktif
misalnya filsafat Immanuel Kant (salah seorang filosof terbesar zaman moderen,
penganut kristen protestan yang 'alim) yang mau mengembalikan peran agama
sebagai penunjang moralitas manusia. Reduktif-kritis adalah teori Durkheim yang
melihat agama sebagai jaminan kekokohan kesatuan sebuah masyarakat. Kritis,
reduktif dan anti agama misalnya filsafat Feuerbach yang mereduksikan agama
pada usaha keliru manusia untuk merealisasikan diri; Marx yang melihat agama
sebagai pelarian orang yang tertindas, dan Freud yang memahami agama sebagai
gejala neurotik.
Tidak
mungkin dalam rangka tulisan sederhana ini kami membahas semua paham itu secara
mendalam. Kiranya jelas bahwa orang agama dewasa ini sangat perlu mempelajari
filsafat agama dan bahkan ikut secara aktif di dalamnya, artinya, rnenjadi
filosof agama. Di satu pihak, filsafat dapat membuka mata manusia akan
kenyataan, keluhuran dan keunikan gejala agama (berlawanan dengan segala teori
reduktit). Di lain pihak, serangan-serangan filsafat agama yang reduktif,
kritis dan anti agama perlu ditanggapi. Kaum agama dapat belajar daripadanya,
belajar bahwa keagamaan dapat disalahfahami, supaya mereka memperbaiki
.penghayatan keagamaan sedemikian rupa hingga agama tidak lagi disalahpahami.
Juga untuk membuka kelemahan pendekatan kritis-reduktif itu.
Kalau agama mau menghadapi tantangan
modernisasi secara terbuka, dan kalau ia mau ikut menjadi unsur aktif di
dalamnya, maka ia harus berani terjun ke filsafat agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar