Jati diri merupakan sesuatu yang sangat urgent dan selalu menjadi topik
bahasan sepanjang zaman. Jati diri kemudian terasa semakin penting di zaman
yang telah berubah menjadi semakin pesat dan mengalami tantangan yang begitu
dasyat dari perkembangan yang dihasilkan oleh manusia itu sendiri.
Di zaman yang serba cepat ini jika manusia tidak memahami jati dirinya maka
bisa-bisa ia akan tergilas oleh kejamnya perubahan dan hedonisme yang melanda
mayarakat dunia. Maka dengan memahami jati dirinya, manusia diharapkan bisa
menemukan kunci jawaban, berikap kritis terhadap pengalaman yang dihadapinya,
serta mampu mencari alternatif yang semakin baik. Lalu jika jati diri
merupakan sesuatu yang sangat penting maka pertanyaan yang muncul kemudian
adalah mungkinkah jati diri manusia itu ditemukan. Jawabannya bisa jadi ia bisa
jadi tidak. Karena seperti yang kita ketahui bahwa manusia adalah individu yang
sangat kompleks, maka akan sangat mustahil jika manusia menemukan jati dirinya
secara serta merta –kerana terkadang manusia juga tak mampu memahami dirinya
sendiri secara utuh dan mendalam. Jika manusia hanya mengandalkan insting dan
kata hatinya juga seakan mustahil, karena terkadang kata hati mudah begitu saja
berubah. Karena manusia juga senantiasa berkembang maka akan sangat mustahil
untuk menilai jati diri manusia dalam satu waktu atau satu masa ketika ia kecil
atau dewasa. Lantas bagaimana cara menemukan jati diri itu. Masihkah mungkin?
Jika manusia tak mampu menemukan jati dirinya secara serta merta, maka
tentu dibutuhkan alat bantu lain dalam upaya pencarian ini. Di zaman yang serba
ilmiah ini maka ilmu pengetahuan menjadi pilihan utama dalam upaya pencarian
jati diri. Berbagai ilmu pengetahuan kemudian mencoba untuk mendiskripsikan
manusia sesuai ranah keilmuannya, seperti psikologi yang mencoba
mendiskripsikan manusia melalui kaca mata manifestasi jiwanya, sosiologi yang
mencoba memahami manusia melalui kaca matanya yang memandang bahwa manusia
merupakan individu yang tak bisa terpisah dari masyarakat dan interaksinya,
antropologi yang mencoba memahami melalui keunikan manusia melalui kaca mata
yang utuh melalui konteks budaya dan nilai-nilai social yang tumbuh di
dalamnya. Maka filsafat manusia yang merupakan bagian integral dari filsafat
sistematis yang selalu mempertanyakan kodrat manusia ini menawarkan sesuatu
yang sedang kita bahas terkait jati diri manusia.
Para filsuf mencoba menginterpretasikan kehidupan pada masanya kemudian
mencoba menyajian pemahaman yang bisa membantu membimbing manusia menemukan
jati dirinya. Berbagai pemikiran kemudian muncul, seperti plato yang meletakkan
martabat manusia sebagai pribadi pada jiwanya, Aquinas menggunkan kata
‘pribadi’ untuk menekankan martabat manusia yang melebihi makhluk-makhluk lain
di dunia ini berkat rasio yang dimilikinya dalam kesatuannya dengan badan.
Selanjutnya, Hume dan Kant mengaitkan kata ‘pribadi’ lansgsung dengan
identitas diri, yakni kesamaan seorang manusia dari waktu ke waktu (Hardono
Hadi, 2000:38). Penjabaran para filsuf terdahulu yang nampak begitu rumit
dan tumpang tindih ini kemudian disempurkan oleh hardono hadi yang menjabarkan
bahwa jati diri merupakan subtansi yang tak terpisahkan dari tiga unsur
pembentuknya, yaitu kepribadian, indentitas diri, dan keunikannya di dalam
masyarakat. Yang kemudian unsur-unsur tersebut mengalami perkembangannya
sendiri dan melibatkan masyarakat dan dunianya. Hardono hadi juga menyebutkan
bahwa jati diri manusia bukanlah sesuatu yang bisa ditentukan sejak awal.
Selama seseorang masih hidup kita hanya bisa mengatakan “jati dirinya sampai
saat ini”. Sedangkan jati diri seseorang bisa menjadi final dan definit
hanyalah ketika seseorang yang bersangkutan sudah meninggal, artinya mencapai
keputusan final yang paling mendalam. Namun, teori-teori diatas masih
dirasa rumit dan sulit dimengerti oleh beberapa kalangan seperti orang awam.
Lalu pertanyaan yang kemudian sering muncul adalah “Kenapa harus ribet-ribet
belajar dan memahami filsafat kalau islam saja sudah cukup untuk menjawab semua
pertanyaan terkait jati diri manusia?”. Bisa jadi memang cukup manusia
atau orang yang bergama memahami ajaran agamannya dalam merumuskan atau
memahami jati dirinya, seperti halnya islam yang telah gamblang dan jelas dalam
menjabrakan jati diri manusia. Namun, seperti yang kita ketahui filsafat adalah
studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis
dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat membimbing manusia untuk
senantiasa berfikir kritis dan terbuka.
Filsafat diperlukan orang muslim agar mereka senantiasa berfikir kritis,
terbuka dan mampu memahami al-Quran dengan cerdas dan tidak
sepotong-potong. Seperti yang islam sendiri ajarkan pada pengikutnya untuk
selalu berfikir, berfikir dan berfikir. Al-Quran juga telah menyebutkan dalam
salah satu ayatnya, yang artinya “Telah tampak tanda-tanda kekuasan Allah bagi
orang-orang yang berfikir”. Memang benar jika filsafat tak mampu berdiri
sendiri, ia membutuhkan topangan agar tak terombang ambing oleh rasionalitas.
Karena memang kemampuan otak manusia sangat terbatas untuk memikirkan semua hal
di dunia ini. Bila tanpa dasar, filsafat akan tersesat dan terombang-ambing
dalam kedangkalan rasionalitas yang kadang menjebak. Untuk itulah dalam berfilsafat
selalu harus ada dasar.
Islam disini berfungsi sebagai dasar, pedoman dan pegangan agar manusia tak
mudah tersesat dengan kebingungan yang ia buat sendiri. Islam disini berfungsi
sebagai akar dari suatu pohon, dimana bila pohon itu tanpa akar ia akan mudah
sekali roboh bila tertiup angin. Dan filsafat dalam islam layaknya ranting
dari suatu pohon. Yakni dimana tempat daun dan buah tumbuh dan berkembang.
Tanpa filsafat dan rasionalitas yang benar, terbuka dan kritis, maka al-Quran
hanya akan dipahami secara tekstual dan konvensional, bukankah al-Quran itu likulli
zaman wa makan yaitu selalu sesuai untuk seluruh zaman dan tempat.
Filsafat diperlukan untuk membuat manusia berfikir kritis dan mampu
mengimplementasikan nilai-nilai al-Quran sesuai zaman yang tak pernah statis
dan selalu berkembang ini. Sebagai zaman yang tak pernah statis, manusia
dengan segala unsur pembentuknya juga tidak pernah statis dan selalu berubah
setiap waktu. Sebagaimana yang kita kita ketahui tetang jati diri manusia bahwa
ia merupakan suatu subtansi yang terdiri dari unsur-unsur yang senantiasa
berkembang dan begitu rumit, maka kita butuh keduanya –filsafat dan islam,
untuk memahami jati diri manusia secara utuh dan komplit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar