Rabu, 28 Desember 2016

Penolakan Al-Ghazali terhadap Filsafat

Saat ini perkembangan filsafat di dunia Islam sangat memprihatinkan. Mayoritas muslim menolak “the mother of science” ini. Mereka menganggap filsafat sebagai ilmu yang merusak keimanan seseorang. Filsafat dianggap sebagai musuh agama. Oleh karenanya, umat Islam sudah tidak tertarik lagi terhadap filsafat karena menganggapnya sebagai ilmu yang tidak berguna dan bahkan menyesatkan.
Pandangan yang demikian itu tidak hanya dilontarkan oleh mereka yang berpikiran dangkal, tetapi juga oleh mereka yang dianggap sebagai ulama terkemuka, seperti K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Beliau menempatkan filsafat sebagai ilmu yang baik tetapi ketika didalami akan menimbulkan kekacauan berpikir. Sehingga, beliau menganggap filsafat sebagai ilmu yang tidak perlu. Lebih parah lagi, Al-Ghazali yang mendapat gelar “Hujjatul Islam” juga turut memberikan “warning” terhadap filsafat karena dianggap sebagai ilmu yang berbahaya bagi keimanan terutama ketika dipelajari oleh orang-orang awam. Lebih lanjut, Al-Ghazali mengecam keras terhadap tiga kesimpulan para filosof, yaitu keabadian alam, pengetahuan Tuhan sebatas pada yang universal, dan jasad tidak dibangkitkan pada akhir zaman. Menurut Al-Ghazali, tiga kesimpulan itu bisa mengantarkan seorang muslim pada kekafiran.
Rupanya, Al-Ghazali telah salah paham terhadap dua dari tiga kesimpulan para filosof tadi. Pertama, mengenai keabadian alam (ke-qadim-an alam). Al-Ghazali menganggap bahwa filosof telah musyrik karena ada dua entitas yang sama-sama qadim, yaitu Tuhan dan alam. Padahal, yang qadim hanyalah Tuhan. Sehingga, beliau menyimpulkan bahwa alam ada dengan sendirinya tanpa membutuhkan Tuhan.
Sebenarnya, Alam disebut qadim oleh filosof bukan berarti keberadaan alam itu tidak butuh kepada Tuhan. Memang, secara temporal (zamaniy) Tuhan dan alam sama-sama ada sebelum adanya ruang dan waktu. Itulah yang dimaksud alam yang qadim oleh para filosof. Sementara, jika dilihat dari zatnya (zaty), keberadaan alam itu butuh kepada Tuhan. Sehingga, alam itu tetap “baru (hadist)” sebagai lawan dari “abadi (qadim)”. Maka, secara temporal, alam bersifat “qadim”, tetapi secara zat alam tetap bersifat “hadits”. Itu yang disalahpahami oleh Al-Ghazali.
Kedua, Al-Ghazali keliru ketika mengartikan bahwa pengetahuan Tuhan terhadap alam itu bersifat universal, tidak partikular. Al-Ghazali menganggap bahwa para filosof telah mengingkari sifat Maha Tahu yang dimiliki Tuhan sebagaimana keterangan yang banyak terdapat di dalam al-Qur’an. Sebenarnya, filosof tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang partikular dari alam ini, tetapi, filosof mengatakan bahwa cara Tuhan itu berbeda dengan cara manusia dalam mengetahui alam ini.Pengetahuan Tuhan itu sebagai sebab (illat) dari alam ini, sementara, pengetahuan manusia itu sebagai akibat (ma’lul) dari alam ini. Pengetahuan Tuhan tentang alam ini sudah pasti benar sehingga alam ini akan mengikuti pengetahuan Tuhan tersebut. Alam menjadi akibat (ma’lul) dari pengetahuan Tuhan, yang dalam hal ini menjadi sebab (illat). Pengetahuan manusia itu berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap alam ini, sehingga pengetahuan itu tergantung kepada alam. Maka, alam menjadi sebab (illat) bagi pengetahuan manusia, yang dalam hal ini menjadi akibat (ma’lul).
Kesalahpahaman yang dialami oleh Al-Ghazali tersebut menunjukkan bahwa tidak selamanya fatwa dari seorang ulama besar itu pasti benar. Fatwa beliau bahwa filsafat itu berbahaya adalah tidak benar karena dibangun atas persepsi yang keliru terhadap kesimpulan para filosof tadi.
Pemaparan di atas memberikan informasi kepada kita perihal alasan Al-Ghazali mengharamkan filsafat, yakni karena beberapa kesimpulan para filosof. Kesimpulan-kesimpulan tersebut sebenarnya berkaitan dengan ajaran Neoplatonisme yang muncul pada abad ke-2M. Aliran ini mengatakan bahwa Tuhan itu mutlak berbeda dengan alam. Tuhan Yang Maha Tinggi tidak patut menciptakan alam yang rendah ini. Maka, untuk menjelaskan bagaimana terciptanya alam ini, aliran Neoplatonisme menganggap bahwa ada yang mewakili Tuhan untuk mengatur alam ini, yakni yang dinamakan dengan “nous” (akal). Ajaran tersebut telah mengantar para filosof muslim kepada tiga kesimpulan tadi.
Dengan demikian, sebenarnya Al-Ghazali tidak menolak keseluruhan sistem filsafat yang selama ini dibangun. Beliau hanya menolak ajaran Neoplatonisme. Bukan filsafat secara keseluruhan. Al-Ghazali dan pengikut-pengikutnya sampai saat ini masih tetap menggunakan logika Aristoteles, misalnya. Itu menunjukkan bahwa Al-Ghazali tidak menolak filsafat secara keseluruhan. Pelajaran Mantiq yang diajarkan di pesantren-pesantren sampai saat ini tidak lain adalah logika Aristoteles yang sudah ada sejak 5 abad sebelum masehi.
Jadi, filsafat harus tetap hidup di dunia Islam agar umat Islam bisa meraih kembali kejayaan seperti di masa lalu. Terbukti, ketika masa dinasti Abbasiyyah dilakukan penerjemahan buku-buku filsafat serta buku-buku pengetahuan lainnya, umat Islam memperoleh kejayaan yang luar biasa, jauh melampaui Eropa. Wallahu’alambishshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar