Saat
ini perkembangan filsafat di dunia Islam sangat memprihatinkan. Mayoritas
muslim menolak “the mother of science” ini. Mereka menganggap filsafat sebagai
ilmu yang merusak keimanan seseorang. Filsafat dianggap sebagai musuh agama.
Oleh karenanya, umat Islam sudah tidak tertarik lagi terhadap filsafat karena
menganggapnya sebagai ilmu yang tidak berguna dan bahkan menyesatkan.
Pandangan
yang demikian itu tidak hanya dilontarkan oleh mereka yang berpikiran dangkal,
tetapi juga oleh mereka yang dianggap sebagai ulama terkemuka, seperti K.H.
Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Beliau menempatkan filsafat sebagai ilmu yang baik
tetapi ketika didalami akan menimbulkan kekacauan berpikir. Sehingga, beliau
menganggap filsafat sebagai ilmu yang tidak perlu. Lebih parah lagi, Al-Ghazali
yang mendapat gelar “Hujjatul Islam” juga turut memberikan “warning” terhadap
filsafat karena dianggap sebagai ilmu yang berbahaya bagi keimanan terutama
ketika dipelajari oleh orang-orang awam. Lebih lanjut, Al-Ghazali mengecam
keras terhadap tiga kesimpulan para filosof, yaitu keabadian alam, pengetahuan
Tuhan sebatas pada yang universal, dan jasad tidak dibangkitkan pada akhir
zaman. Menurut Al-Ghazali, tiga kesimpulan itu bisa mengantarkan seorang muslim
pada kekafiran.
Rupanya,
Al-Ghazali telah salah paham terhadap dua dari tiga kesimpulan para filosof
tadi. Pertama, mengenai keabadian alam (ke-qadim-an alam). Al-Ghazali
menganggap bahwa filosof telah musyrik karena ada dua entitas yang sama-sama
qadim, yaitu Tuhan dan alam. Padahal, yang qadim hanyalah Tuhan. Sehingga,
beliau menyimpulkan bahwa alam ada dengan sendirinya tanpa membutuhkan Tuhan.
Sebenarnya,
Alam disebut qadim oleh filosof bukan berarti keberadaan alam itu tidak butuh
kepada Tuhan. Memang, secara temporal (zamaniy) Tuhan dan alam sama-sama ada
sebelum adanya ruang dan waktu. Itulah yang dimaksud alam yang qadim oleh para
filosof. Sementara, jika dilihat dari zatnya (zaty), keberadaan alam itu butuh
kepada Tuhan. Sehingga, alam itu tetap “baru (hadist)” sebagai lawan dari
“abadi (qadim)”. Maka, secara temporal, alam bersifat “qadim”, tetapi secara
zat alam tetap bersifat “hadits”. Itu yang disalahpahami oleh Al-Ghazali.
Kedua,
Al-Ghazali keliru ketika mengartikan bahwa pengetahuan Tuhan terhadap alam itu
bersifat universal, tidak partikular. Al-Ghazali menganggap bahwa para filosof
telah mengingkari sifat Maha Tahu yang dimiliki Tuhan sebagaimana keterangan
yang banyak terdapat di dalam al-Qur’an. Sebenarnya, filosof tidak mengatakan
bahwa Tuhan tidak mengetahui yang partikular dari alam ini, tetapi, filosof
mengatakan bahwa cara Tuhan itu berbeda dengan cara manusia dalam mengetahui
alam ini.Pengetahuan Tuhan itu sebagai sebab (illat) dari alam ini, sementara,
pengetahuan manusia itu sebagai akibat (ma’lul) dari alam ini. Pengetahuan
Tuhan tentang alam ini sudah pasti benar sehingga alam ini akan mengikuti
pengetahuan Tuhan tersebut. Alam menjadi akibat (ma’lul) dari pengetahuan
Tuhan, yang dalam hal ini menjadi sebab (illat). Pengetahuan manusia itu
berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap alam ini, sehingga pengetahuan
itu tergantung kepada alam. Maka, alam menjadi sebab (illat) bagi pengetahuan
manusia, yang dalam hal ini menjadi akibat (ma’lul).
Kesalahpahaman
yang dialami oleh Al-Ghazali tersebut menunjukkan bahwa tidak selamanya fatwa
dari seorang ulama besar itu pasti benar. Fatwa beliau bahwa filsafat itu
berbahaya adalah tidak benar karena dibangun atas persepsi yang keliru terhadap
kesimpulan para filosof tadi.
Pemaparan
di atas memberikan informasi kepada kita perihal alasan Al-Ghazali mengharamkan
filsafat, yakni karena beberapa kesimpulan para filosof. Kesimpulan-kesimpulan
tersebut sebenarnya berkaitan dengan ajaran Neoplatonisme yang muncul pada abad
ke-2M. Aliran ini mengatakan bahwa Tuhan itu mutlak berbeda dengan alam. Tuhan
Yang Maha Tinggi tidak patut menciptakan alam yang rendah ini. Maka, untuk
menjelaskan bagaimana terciptanya alam ini, aliran Neoplatonisme menganggap
bahwa ada yang mewakili Tuhan untuk mengatur alam ini, yakni yang dinamakan
dengan “nous” (akal). Ajaran tersebut telah mengantar para filosof muslim
kepada tiga kesimpulan tadi.
Dengan
demikian, sebenarnya Al-Ghazali tidak menolak keseluruhan sistem filsafat yang
selama ini dibangun. Beliau hanya menolak ajaran Neoplatonisme. Bukan filsafat
secara keseluruhan. Al-Ghazali dan pengikut-pengikutnya sampai saat ini masih
tetap menggunakan logika Aristoteles, misalnya. Itu menunjukkan bahwa
Al-Ghazali tidak menolak filsafat secara keseluruhan. Pelajaran Mantiq yang
diajarkan di pesantren-pesantren sampai saat ini tidak lain adalah logika
Aristoteles yang sudah ada sejak 5 abad sebelum masehi.
Jadi,
filsafat harus tetap hidup di dunia Islam agar umat Islam bisa meraih kembali
kejayaan seperti di masa lalu. Terbukti, ketika masa dinasti Abbasiyyah
dilakukan penerjemahan buku-buku filsafat serta buku-buku pengetahuan lainnya,
umat Islam memperoleh kejayaan yang luar biasa, jauh melampaui Eropa.
Wallahu’alambishshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar