Minggu, 25 Desember 2016

Aksiologi Ilmu Menurut Al-Qur’an

Aksiologi atau nilai guna dan kemanfaatan ilmu pengetahuan disebut juga dengan teori nilai. Pada tataran aksiologi, filsafat hendaknya mampu menjawab pertanyaan tentang “untuk tujuan apa ilmu pengetahuan digunakan?”, “bagaimana hubungan penggunaan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai etika dan moral?”, “bagaimana tanggung jawab sosial ilmuan?”, dan “apakah ilmu pengetahuan itu bebas nilai (meaningless) atau sarat nilai (meaningfull)?”
Bertolak dari uraian di atas, maka kajian aksiologi ilmu menurut al-Qur’an akan menjelaskan tentang apa nilai guna dan kemanfaatan ilmu menurut al-Qur’an, untuk tujuan apa ilmu dipelajari dan dikembangkan, bagaimana tanggung jawab sosial seorang ilmuwan muslim, apakah ilmu itu bebas nilai atau sarat nilai menurut al-Qur’an? Ilmu bukan sesuatu yang berada di ruang hampa yang tidak memiliki nilai guna dan manfaat tetapi sesuatu yang beneficial, memiliki nilai guna dan manfaat, serta bukan sebaliknya yang dapat merusak, baik merusak kehidupan manusia maupun merusak kehidupan alam dan lingkungan.
Ilmu harus digunakan semata-mata untuk kebaikan dan menciptakan kemaslahatan, baik kemaslahatan bagi manusia, kemaslahatan duniawi dan ukhrawi, maupun kemaslahatan bagi makhluk-makhluk hidup lain serta lingkungan alam secara keseluruhan. Nilai guna ilmu pengetahuan selalu dihubungkan dengan kedudukan dan tugas keberadaan manusia di muka bumi. Keberadaan manusia di muka bumi memiliki kedudukan ganda, di satu pihak manusia adalah sebagai khalifah dan di pihak lain manusia berkedudukan sebagai hamba Tuhan (‘abid).
Dalam konteks ini, tujuan ilmu pengetahuan adalah:
Pertama, sebagai bekal untuk melaksanakan tugas kekhalifahan. Kata khalifah diambil dari kata kerja khalafa yang berarti mengganti dan melanjutkan. Menurut al-Tabari dan al-Qurtubi, kata khalifah secara filosofis ditafsirkan ke dalam tiga definisi, yaitu: 1) menggantikan yang lain, yakni menggantikan Allah, 2) segolongan manusia menggantikan segolongan manusia lain, dan 3) menggantikan selain manusia seperti jin. Namun telah dikatakan bahwa kedua tafsiran yang pertama sangat kecil kemungkinannya untuk menyebutkan tugas khalifah. Dengan penekanan kata khalifah tersebut, yakni khalifah Allah, maka gambaran ketiga terlihat menunjukkan makna yang lebih dalam. Dalam kedudukannya sebagai khalifah, manusia dituntut untuk memiliki pengetahuantentang kepemimpinan, kemasyarakatan, kebudayaan, kealaman, dan pengetahuanpengetahuan praktis yang bersifat profesional, di mana masing-masing individu satu sama lain saling membutuhkan dan tidak mungkin dimiliki atau dilakukan semuanya oleh seorang individu. Di samping itu, manusia juga dituntut untuk memiliki ilmu-ilmu tentang akhlak, etika dan moralitas yang terpuji serta aturan-aturan hukum (syari‘ah). Semua ilmu pengetahuan tersebut dibutuhkan manusia untuk dapat menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, ketertiban dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat serta menjaga keseimbangan dan kelestarian alam sebagai tempat manusia berkiprah.
Kedua, sebagai bekal untuk menjalankan tugas penghambaan kepada TuhanKata‘abd (‘abada-ya‘budu-‘abdan), menurut Quraish Shihab, paling tidak memiliki tiga arti, yaitu:
1) sesuatu yang dimiliki, 2) sejenis tumbuhan yang beraroma harum, dan 3) anak panah.
Jadi, berdasarkan arti yang pertama, maka abdi Allah, abdi bangsa atau abdi apapun berarti sesuatu yang dimiliki dan sekaligus menjadi alat, atau menjadi seseorang yang memiliki aroma harum bagi lingkungannya. Dalam kamus Arabic-English Dictionary, suntingan JM Cowan (1976), kata kerja abada bisa berarti melayani (to serve), menyembah (to worship) kepada Tuhan. Sebagai kata benda, kata ‘abdun berarti budak (slave, serv) yang bentuk jamaknya adalah ‘abid yang berarti orang-orang yang menjadi pelayan. Bentuk jama yang lain adalah `ibad yang berarti hamba-hamba Tuhan. Bentuk masdarnya jika ditafsirkan menjadi ibadah artinya adalah penyembahan (worship) dan pengabdian kepada Ilahi, juga bisa berarti kegiatan ibadah yang bersifat ritual, seperti menjalankan shalat dan berdoa.
Dalam kedudukannya sebagai hamba Tuhan (‘abid), manusia dituntut selain untuk memiliki pengetahuan tentang keyakinan yang benar akan eksistensi Tuhan, sifat-sifat Tuhan,
makna dan eksistensi kehidupannya di alam dunia maupun alam akhirat, mahluk-mahluk Tuhan yang tidak tampak kasat mata tetapi mereka ada di sekitar kita dan saling berhubungan, tentang kehidupan sesudah mati, alam barzakh, kiamat, surga dan neraka, dll. juga untukmemiliki ilmu tentang aturan-aturan Tuhan yang diperuntukkan bagi manusia, tentang tata.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa menurut al-Qur’an pengembangan ilmu memiliki tujuan yang mulia yakni untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta. Sebaliknya, ilmu tidak boleh digunakan untuk tujuan yang dapat mengakibatkan kerusakan di muka bumi baik merusak manusia secara individu maupun sosial maupun merusak alam dan lingkungan. Dengan demikian, pengembangan ilmu sejatinya terikat dengan nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan (meaningfull). Al-Qur’an tidak dapat menerima pandangan sebagian filosof dan ilmuan Barat yang berpendapat bahwa ilmu dapat bebasdinilai (meaningless). Pandangan yang menyatakan bahwa ilmu bebas nilai dikemukakan oleh para filosof dan ilmuan sekuler yang memisahkan ilmu dari nilai-nilai agama, etika dan moral. Seperti jargon mereka yang mengatakan bahwa “ilmu untuk ilmu” atau “seni untuk seni”, sehingga pengembangan ilmu pengetahuan dan seni tidak perlu memperhatikan nilai-nilai moral, etika dan agama. Pandangan yang demikian jelas bertentangan dengan konsep ilmu dalam al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar