Minggu, 25 Desember 2016

Prinsip-Prinsip Pemikiran

Berpikir secara  ilmiah  dan berpikir secara kefilsafatan mempunyai tujuan yang sama  yaitu  untuk  memperoleh  kebenaran.  Proses  berpikir  yang  khas  disebut penalaran  (reasoning)  yang  tahap  terakhir  adalah  memperoleh  kesimpulan (inference)  yang  benar  dari  segi  isinya  dan  valid  dari  segi  bentuknya.  Penalaran adalah  suatu  corak  pemikiran  yang  khas  yang  dimiliki  manusia  untuk  dari pengetahuan  yang  ada  kemudian  memperoleh  pengetahuan  airnya  terutama sebagai  sarana untuk memecahkan sesuatu masalah. Supaya kebenaran itu  dapat diperoleh maka dalam berpikir tersebut hams mengikuti  prinsip-prinsip berpikir. Istilah  Prinsip-prinsip  berpikir,  disebut  dengan  nama  yang  berbeda. Misalnya Ueberweg  menyebutnya  dengan  Axioms  of  lnference,  John  Stuart  Mill menyebutnya  dengan Universal  Postulates  of  Inference.  Istilah  prinsip  dapat diartikan  dengan  kaidah  atau  hukum,  yang  inti  artinya  adalah  suatu  pernyataan yang  mengandung  kebenaran  universal.  Kebenaran  ini  tidak  terbatas  oleh  ruang dan  waktu,  dimana  dan  kapan  saja  dapat  digunakan.  Prinsip  itu  tidak membutuhkan  suatu  pembuktian,  yang  jelas  atau  terbukti  dengan  sendirinya  (self-evident),  karena  terlalu  sederhana,  maka  prinsip  itu  disebut  dengan  aksioma  atau prinsip dasar.
Aksioma  berasal  dari  bahasa  Yunani  axioma  “yang  dipikirkan  bernilai”. Aksioma  atau  assumsi  di  dalam  logika  berarti  keterangan  yang  kebenarannya diterima  tanpa  pembuktian  lebih  lanjut  untuk  menjadi  dasar  awal  atau  pegangan dalam  sesuatu  penalaran.  Dalam  arti  umum  aksioma  dapat  didefinisikan  sebagai suatu  pemyataan  yang  mengandung  kebenaran  universal  yang  kebenarannya sudah  terbukti  dengan  sendirinya  (self-evident).  Aksioma  merupakan  sesuatu  hal yang  diterima  sebagai  pernyataan  yang  bersifat  universal,  dan  merupakan pernyataan  fundamental  yang  tidak  dapat  dideduksikan  dan  pernyataan  lain  serta sebagai  titik  totak  dan  diperolehnya  suatu  kesimpulan.  Misalnya  aksioma  yang dikemukakan  oleh  Euklidus,  seorang  ahli  geometrika  Iskandariah  di  sekitar  tahun 300  SM,  yang  menyatakan  “suatu  keseluruhan  lebih  besar  daripada  sebagian”. Pernyataan  semacam  ini  merupakan  suatu  keterangan  yang  jelas  atau  terbukti dengan  sendirinya,  secara  langsung  dapat  dimengerti  sehingga  tidak  perlu membutuhkan hal-hal lain untuk membuktikan kebenarannya.
Prinsip-prinsip  berpikir  ada  empat,  yang  dikemukakan  oleh  Aristoteles  dan Leibniz.  Aristoteles  mengemukakan  3  prinsip  yaitu:  Prinsip  kesamaan  (principle  of identity),  prinsip  kontradiksi  (principle  of  contradiction)  atau  ada  yang  menyebut princip  tidak  ada  pertentangan  (principle  of  non-contratiction)  dan  prinsip penyisihan  jalan  tengah  atau  prinsip  tidak  ada  kemungkinan  ketiga  (principles  of excluded  middle).  Sedangkan  Gottfried  Wilhelm  von  Leibniz  (1646-1716) mengemukakan satu prinsip cukup alasan (principle of sufficient reason).
(1)  Prinsip  kesamaan.  Dalam  istilah  Latin  disebut  principium  identitatis.  Prinsip kesamaan  dapat  berarti  secara  ontologis  dan  secara  logis.  Dalam  anti  ontologis adalah “sesuatu yang ada itu ada” atau “sesuatu hal itu identik dengan diri sendiri”. Identik  artinya  satu  dan  sama.  Dalam  arti  logis  yaitu  bahwa  sesuatu  benda  (thing) adalah  benda  itu  sendiri,  tidak  mungkin  yang  lain.  Selanjutnya  bahwa  arti  yang sebenamya  dan  sesuatu  benda  tetap  sama  selama  benda  itu  dibicarakan  ataupun dipikirkan.  Konsep-konsep  (pengertian)  yang  digunakan  di  dalam  suatu  pemikiran haruslah  tetap  sama  artinya  selama  pembicaraan  itu  berlangsung.  Dengan demikian  kalau  kita  mulai  dengan  pengertian  bahwa  suatu  objek  tertentu mempunyai sifat-si fat  (atribut) yang tertentu pula, maka kita tidak boleh melupakan bahwa  objek-objek  itu  tetap  mempunyai  sifat-sifat  yang  telah  ditentukan  itu  dan sifat-sifat  itu  tidak  boleh  berubah,  karena  kalau  sifat-sifat  itu  berubah  maka  arti konsep  itu  berubah  pula.  Sebuah  konsep  yang  memiliki  arti  yang  berubah-ubah akan menimbulkan  kekacauan  dalam  pemikiran,  dan  selanjutnya  kesimpulan  yang diperoleh menjadi sesat (fallacy).
Secara  simbolis  pernyataan  identitatis  dapat  dirumuskan:  “sesuatu  yang  disebut  p maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain”.
(2)  Prinsip  kontradiksi.  Dalam  istilah  Latin  disebut  principium  contradictionis. Hamilton menyebut prinsip ini sebagai prinsip non kontradiksi, karena tidak adanya kontradiksi  merupakan  syarat  bagi  pemikiran  yang  sah  (valid).  Dengan  demikian penyebutan  prinsip  kontradiksi  ini  adalah  tidak  tepat,  yang  dimaksudkan  adalah tidak  adanya  kontradiksi  (pertentangan  yang  saling  menyisihkan)  dalam  suatu pernyataan,  artinya  bukan  kontradiksi  itu  yang  menjadi  prinsip.  Prinsip  ini  direvisi menjadi  prinsip  tidak  adanya  kontradiksi  (principle  of  non-contradiction).  Prinsip non  kontradiksi  berbunyi :“  sesuatu  hal  tidak  dapat  sekaligus  merupakan  hal  itu dan  bukan  hal  itu  pada  waktu  yang  bersamaan”  atau  “sesuatu  pernyataan  tidak mungkin mempunyai nilai benar atau tidak benar pada waktu yang sama”. Yang  dimaksud  dengan  prinsip  ini  adalah  bahwa  dua  sifat  yang  bertentangan secara  kontradiksi  (bertentangan  secara  mutlak,  misalnya  hidup  dengan  tidak hidup)  tidak  mungkin  ada  pada  satu  hal  dalam  waktu  dan  tempat  yang  sama. Misalnya pemyataan: manusia ini hidup dan tidak hidup. Kedua pengertian sebagai sifat  untuk  manusia  itu  tidak  mungkin  diterima  kedua-duanya  dalam  waktu  yang sama,  meskipun  manusia  itu  dapat  dibenarkan  pada  suatu  saat  hidup  dari  pada saat  yang  lain  tidak  hidup,  namun  tidak mungkin keduanya  (hidup  dan tidak  hidup) bersamaan waktu.
Secara  simbolis  dapat  dirumuskan:  “sesuatu  tidaklah  mungkin  secara  bersamaan merupakan p dan non p”.
(3)  Prinsip  penyisihan  jalan  tengah  atau  prinsip  tidak  ada  kemungkinan  ketiga (principle  of  excluded  middle)  yang  bahasa  Latin  disebut  principium  exclusi  tertii. Menurut  prinsip  ini  dua  sifat  yang  berkontradiksi  tidak  mungkin  kedua-duanya dimiliki  oleh  satu  benda.  Hanya  salah  satu  dari  dua  sifat  itu  yang  dimiliki  oleh benda  tersebut.  Dengan  kata  lain  dapat  dikatakan  bahwa  salah  satu  dari  dua  sifat yang  berkontradiksi mestilah  benar bagi satu  benda. Misalnya jika dikatakan  “Meja ini  hitam”  adalah  salah, maka  pemyataan  “Meja  ini  tidak  hitam”  mesti  benar.  Tidak mungkin  diantara  kedua  sifat  yang  berkontradiksi  itu  (hitam  dan  tidak  hitam)  tidak akan  ada  yang  benar.  Tidak  ada  kemungkinan  ketiga  yaitu  keduanya  benar  atau keduanya salah pada satu benda.
(4)  Prinsip  cukup  alasan.  Dalam  bahasa  Latin  disebut  principium  rationis suffecientis.  Prinsip  ini  melengkapi  prinsip  kesamaan.  Prinsip  kesamaan  berbunyi bahwa  sesuatu  hal  itu  identik  dengan  dirinya  sendiri,  kemudian  dilengkapi  oleh prinsip ke empat “suatu perubahan  yang terjadi  pada  sesuatu  hal  tertentu mestilah berdasarkan  alasan  yang  cukup,  tidak  mungkin  secara  tiba-tiba  berubah  tanpa sebab-sebab  yang  mencukupi.  Diuraikan  secara  lain,  “adanya  sesuatu  itu  mesti mempunyai  adalan  yang  cukup,  demikian  pula  jika  ada  perubahan  pada  keadaan sesuatu”.  Misalnya,  jika  suatu  benda  jatuh  (ke  bawah),  alasannya  ialah  adanya daya tarik bumi (gravitasi), sedangkan benda itu tidak ada yang menahannya. Prinsip  yang  ke  empat  ini  sebagai  tambahan  bagi  prinsip  ke  satu  artinya secara  tidak  langsung  menyatakan  bahwa  sesuatu  benda  mestilah  tetap  tidak berubah,  tetap  sebagaimana  benda  itu  sendiri,  tetapi  jika  kebetulan  terjadi perubahan,  maka  perubahan  itu  mestilah  ada  sesuatu  yang  mendahuluinya sebagai penyebab perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar