Berpikir secara ilmiah
dan berpikir secara kefilsafatan mempunyai tujuan yang sama yaitu
untuk memperoleh kebenaran. Proses berpikir
yang khas disebut penalaran (reasoning) yang tahap terakhir
adalah memperoleh kesimpulan (inference) yang benar dari segi isinya
dan valid dari segi bentuknya. Penalaran adalah suatu corak pemikiran yang khas
yang dimiliki manusia untuk dari pengetahuan yang ada kemudian memperoleh
pengetahuan airnya terutama sebagai sarana untuk memecahkan sesuatu masalah. Supaya kebenaran
itu dapat diperoleh maka dalam berpikir tersebut hams mengikuti prinsip-prinsip berpikir. Istilah Prinsip-prinsip berpikir, disebut dengan
nama yang berbeda. Misalnya Ueberweg menyebutnya dengan Axioms of
lnference, John Stuart Mill menyebutnya dengan Universal Postulates of
Inference. Istilah prinsip dapat diartikan dengan kaidah atau hukum, yang
inti artinya adalah suatu pernyataan yang mengandung kebenaran universal. Kebenaran
ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu, dimana dan kapan saja
dapat digunakan. Prinsip itu tidak membutuhkan suatu pembuktian, yang jelas
atau terbukti dengan sendirinya (self-evident),
karena terlalu sederhana, maka prinsip itu
disebut dengan aksioma atau prinsip dasar.
Aksioma berasal
dari bahasa Yunani axioma “yang dipikirkan
bernilai”. Aksioma atau assumsi di dalam logika
berarti keterangan yang kebenarannya diterima tanpa pembuktian lebih lanjut
untuk menjadi dasar awal atau pegangan dalam sesuatu penalaran. Dalam arti umum
aksioma dapat didefinisikan sebagai suatu pemyataan yang mengandung kebenaran
universal yang kebenarannya sudah terbukti dengan sendirinya (self-evident).
Aksioma merupakan sesuatu hal yang diterima sebagai pernyataan yang
bersifat universal, dan merupakan pernyataan fundamental yang tidak dapat
dideduksikan dan pernyataan lain serta sebagai titik totak dan diperolehnya suatu
kesimpulan. Misalnya aksioma yang dikemukakan oleh Euklidus, seorang ahli
geometrika Iskandariah di sekitar tahun 300 SM, yang menyatakan “suatu keseluruhan
lebih besar daripada sebagian”. Pernyataan semacam ini merupakan suatu
keterangan yang jelas atau terbukti dengan sendirinya, secara langsung dapat
dimengerti sehingga tidak perlu membutuhkan hal-hal lain untuk membuktikan kebenarannya.
Prinsip-prinsip berpikir
ada empat, yang dikemukakan oleh
Aristoteles dan Leibniz. Aristoteles mengemukakan 3 prinsip
yaitu: Prinsip kesamaan (principle of identity), prinsip kontradiksi (principle of
contradiction) atau ada yang menyebut princip tidak ada pertentangan (principle
of non-contratiction) dan prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak
ada kemungkinan ketiga (principles of excluded middle). Sedangkan Gottfried Wilhelm
von Leibniz (1646-1716) mengemukakan satu prinsip cukup alasan (principle of sufficient reason).
(1) Prinsip kesamaan. Dalam
istilah Latin disebut principium identitatis.
Prinsip kesamaan dapat berarti secara ontologis dan
secara logis. Dalam anti ontologis adalah “sesuatu yang ada itu ada” atau “sesuatu hal itu identik dengan diri
sendiri”. Identik artinya satu dan sama. Dalam
arti logis yaitu bahwa sesuatu benda
(thing) adalah benda itu sendiri, tidak mungkin
yang lain. Selanjutnya bahwa arti yang sebenamya dan sesuatu benda tetap sama
selama benda itu dibicarakan ataupun dipikirkan. Konsep-konsep (pengertian) yang
digunakan di dalam suatu pemikiran haruslah tetap sama artinya selama
pembicaraan itu berlangsung. Dengan demikian kalau kita mulai dengan pengertian
bahwa suatu objek tertentu mempunyai sifat-si fat (atribut) yang tertentu pula, maka kita tidak
boleh melupakan bahwa objek-objek itu tetap mempunyai
sifat-sifat yang telah ditentukan itu dan sifat-sifat itu tidak boleh berubah, karena
kalau sifat-sifat itu berubah maka arti konsep itu berubah pula. Sebuah konsep
yang memiliki arti yang berubah-ubah akan menimbulkan kekacauan dalam pemikiran, dan
selanjutnya kesimpulan yang diperoleh menjadi sesat (fallacy).
Secara simbolis
pernyataan identitatis dapat dirumuskan: “sesuatu
yang disebut p maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan
yang lain”.
(2) Prinsip kontradiksi. Dalam
istilah Latin disebut principium contradictionis. Hamilton menyebut prinsip ini sebagai prinsip non kontradiksi, karena tidak
adanya kontradiksi merupakan syarat bagi pemikiran
yang sah (valid). Dengan demikian penyebutan prinsip kontradiksi ini adalah
tidak tepat, yang dimaksudkan adalah tidak adanya kontradiksi (pertentangan yang
saling menyisihkan) dalam suatu pernyataan, artinya bukan kontradiksi itu
yang menjadi prinsip. Prinsip ini direvisi menjadi prinsip tidak adanya kontradiksi
(principle of non-contradiction). Prinsip non kontradiksi berbunyi :“ sesuatu hal
tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal itu pada waktu yang
bersamaan” atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai benar atau tidak benar pada waktu yang sama”. Yang dimaksud dengan prinsip ini adalah
bahwa dua sifat yang bertentangan secara kontradiksi (bertentangan secara mutlak,
misalnya hidup dengan tidak hidup) tidak mungkin ada pada satu
hal dalam waktu dan tempat yang sama. Misalnya pemyataan: manusia ini hidup dan tidak hidup. Kedua pengertian sebagai sifat untuk manusia itu tidak mungkin
diterima kedua-duanya dalam waktu yang sama, meskipun manusia itu dapat dibenarkan
pada suatu saat hidup dari pada saat yang lain tidak hidup, namun tidak
mungkin keduanya (hidup dan tidak hidup) bersamaan waktu.
Secara simbolis
dapat dirumuskan: “sesuatu tidaklah mungkin
secara bersamaan merupakan p dan non p”.
(3) Prinsip penyisihan jalan
tengah atau prinsip tidak ada kemungkinan
ketiga (principle of excluded middle) yang bahasa
Latin disebut principium exclusi tertii. Menurut prinsip ini dua sifat yang
berkontradiksi tidak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh satu benda. Hanya salah
satu dari dua sifat itu yang dimiliki
oleh benda tersebut. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa salah satu dari dua sifat yang berkontradiksi mestilah benar bagi satu benda. Misalnya
jika dikatakan “Meja ini hitam” adalah salah, maka pemyataan
“Meja ini tidak hitam” mesti benar.
Tidak mungkin diantara kedua sifat yang
berkontradiksi itu (hitam dan tidak hitam)
tidak akan ada yang benar. Tidak ada
kemungkinan ketiga yaitu keduanya benar atau keduanya salah pada satu benda.
(4) Prinsip cukup alasan.
Dalam bahasa Latin disebut principium rationis suffecientis. Prinsip ini melengkapi prinsip
kesamaan. Prinsip kesamaan berbunyi bahwa sesuatu hal itu identik dengan dirinya
sendiri, kemudian dilengkapi oleh prinsip ke empat “suatu perubahan yang terjadi pada
sesuatu hal tertentu mestilah berdasarkan alasan yang cukup, tidak
mungkin secara tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi. Diuraikan secara
lain, “adanya sesuatu itu mesti mempunyai adalan yang cukup, demikian pula
jika ada perubahan pada keadaan sesuatu”. Misalnya, jika suatu benda jatuh
(ke bawah), alasannya ialah adanya daya tarik bumi (gravitasi), sedangkan benda itu tidak ada yang menahannya. Prinsip
yang ke empat ini sebagai tambahan
bagi prinsip ke satu artinya secara tidak langsung menyatakan bahwa
sesuatu benda mestilah tetap tidak berubah, tetap sebagaimana benda itu
sendiri, tetapi jika kebetulan terjadi perubahan, maka perubahan itu mestilah ada
sesuatu yang mendahuluinya sebagai penyebab perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar