Aristoteles adalah
orang yang pertama sekali memahami sederet persoalan yang tidak ada hubungannya
dengan pengetahuan yang sudah dikenal pada masa itu seperti matematika, etika,
sosial, pengetahuan alam ataupun logika. Persoalan persoalan yang ditemukan ini
disadarinya sebagai inti dari semua yang daripadanya kemudian diketahui
hubungan dan keterpisahan persoalan suatu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
Persoalan ilmu ini
dikemudian hari semakin luas seiring dengan pengamatan yang semakin intensif
terhadapnya. Sehingga Aristoteles merasa perlu untuk memisahkan ilmu ini dari
ilmu-ilmu yang sudah dikenal saat itu karena ilmu ini memiliki sisi khusus
disisi berbagai ilmu lainnya. Tetapi perlu diingat, bahwa saat itu Aristoteles
tidak memberikan nama untuk jenis ilmu ini sampai dia meninggal.
Setelah Aristoteles
meninggal barulah orang-orang mengumpulkan hasil karyanya ini dan disusun dalam
sebuah ensiklopedia. Dari sisi urutannya, bahasan yang belum diberi nama tadi terletak
setelah bagian ilmu fisika (ilmu alam) . Dari urutan tadi dan
dikarenakan memang belum diberi nama, maka mereka saat itu memberikannya nama
sesuai dengan urutannya, yaitu ’setelah fisika’ atau ‘metafisika’ ,
yang terambil dari kata ‘meta’= setelah dan ‘fisika’ = fisika.
Namun apa yang terjadi
kemudian sebagaimana yang kita saksikan sekarang, lambat laun orang-orang mulai
lupa akan ‘cerita penamaan’ terhadap ilmu (metafisika) ini. Mereka lupa bahwa
nama metafisika adalah penamaan terhadap ilmu yang di urutkan berdasarkan
ensiklopedia yang berarti ’setelah fisika’. Setelah pembahasan filsafat
rendah (filsafat fisika) dan BUKAN karena ilmu ini semata-mata
membahas Akal Murni, Tuhan dan segala sesuatunya yang diluar jangkauan ilmu
alam (fisika). Karena kalau alasannya adalah karena ilmu ini membahas tentang
ketuhanan saja, maka seyogyanya ilmu ini dinamakan PROFISIKA atau ’sebelum
fisika’ , karena Tuhan sesungguhnya jauh sebelum adanya alam dan fisika, dan
bukan sesudahnya.
Karena kekeliruan dalam
pendefinisian verbal itu, maka sampai sekarang masih banyak ilmuwan barat yang
mengatakan bahwa ilmu metafisika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu
yang berhubungan dengan ketuhanan atau sesuatu yang tidak bisa dilihat dan
diraba secara fisik / terpisah dari alam material.
Padahal jelas
Aristoteles sendiri tidak menamakan demikian terhadap fenomena keterhubungan
dan keterpisahan antara satu ilmu dengan yang lainnya itu yang diketahui
sebagai pusat faktor keterkaitan dan keterpisahan antara alam materi dan non
materi. Penyederhanaan kalaupun tidak mau dikatakan sebagai penyimpangan makna
seperti ini terjadi juga pada kata ‘filsafat’ , bahkan lebih ngacau lagi …
Coba kita perhatikan
apa yang terjadi disekitar kita sekarang ini, filsafat yang tadinya berarti
semua ilmu pengetahuan yang bisa dicerna oleh rasio (selain wahyu
Tuhan) kini menyempit artinya menjadi nama dari satu disiplin ilmu
khusus yang membahas tentang metafisika, etika, logika, estetika atau yang
lainnya.
Darimanakah
‘kekeliruan’ ini bermula? Mari kita simak apa yang terjadi di abad 16 ketika
Rene Descartes dari Perancis dan Francis Bacon dari Inggris mengumandangkan
sanggahan mereka terhadap metode deduktif (silogistik) , dimana mereka
berpendapat bahwa apa-apa yang tidak bisa dibuktikan dengan eksperimen maka
semua ke apaan itu adalah tidak masuk akal, tidak termasuk kedalam ilmu yang
dikatagorikan sebagai ilmu yang mempunyai kebenaran. Dan dengan sendirinya ilmu
semacam itu diangap tidak berlaku karena tidak mempunyai kaidah dasar yang
jelas. Dan bukan itu saja, kelompok ini bahkan kemudian mencoret ‘kepala kodi’
(kepala ilmu) yang paling agung itu. Menurut mereka tidak ada itu yang namanya
filsafat utama, filsafat tinggi, metafisika atau apapun namanya.
Setelah kelompok yang
menentang keras filsafat tinggi ini ada juga kemudian kelompok lainnya yang
sedikit lebih bersahabat dengan metode silogisme. Mereka mengatakan bahwa apa
apa yang BISA dibuktikan dengan eksperimen mereka sebut dengan ilmu ’science’
dan apa apa yang harus menggunakan metode silogisme seperti metafisika, etika,
estetika, logika dan akhlak mereka namakan filsafat.
Disini dan dari sinilah
penyempitan definisi verbal itu mulai terjadi, dimana filsafat yang tadinya
didefinisikan oleh cendikiawan kuno sebagai nama umum untuk semua ilmu
pengetahuan yang bisa dicerna oleh rasio, yaitu filsafat tinggi (teologi),
filsafat menengah (matematika) dan filsafat rendah (fisika), kini
menyempit menjadi nama khusus untuk ilmu yang membahas etika, estetika, dan
logika. Alhasil terjadilah pemisahan antara filsafat dan Ilmu pengetahuan
akibat kekeliruan definisi verbal ini. Ini sangat menggangu khasanah ke
ilmu-an, karena yang dipotong bukan saja arti verbalnya tapi sudah menjadi
salah kaprah. Perpisahan ini bukan hanya pada istilah tapi juga ‘isi’.
Berbeda dengan
ilmu-ilmu kuno lainnya semisal Ilmu kedokteran, ilmu kedokteran kuno
demikian dan ilmu kedokteran modern begini, ilmu botani kuno begini dan modern
begitu. perbedaannya hanya kepada jenis alat yang dipakai dan metode aplikasinya.
Tetapi tetap sama-sama ilmu kedokteran dan ilmu botani. Sedangkan filsafat BEDA
JAUH, terjadi perbedaan antara filsafat kuno dan filsafat modern dalam arti
yang terpisah, filsafat kuno membahas semua hal dan filsafat modern membahas
hal khusus.
Filsafat dan
SainsDibarat dewasa ini filsafat – khususnya metafisika – dianggap bukanlah
sebagai sains. Sebagaimana yang dikatakan August Comte, bahwa filsafat dalam
bentuk metafisika adalah fase kedua dalam perkembangan manusia, setelah agama
yang disebut sebagai fase pertamanya.
Adapun yang disebut
dengan fase ketiga atau fase yang paling modern dalam perkembangan manusia
adalah sains yang bersifat positivistik (yang dapat dilihat oleh indra lahir
manusia).
Dan karena sains
merupakan perkembangan terakhir – fase ketiga- maka manusia modern harus
meninggalkan fase-fase sebelumnya yang dianggap sudah kuno seperti fase agama
-teologis- dan metafisika filosofis jika ingin tetap bisa dikatakan sebagai
manusia modern.
Berbeda dengan apa yang
terjadi dibarat, dalam tradisi ilmiah Islam filsafat tetap dipertahankan hingga
kini dalam posisi ilmiahnya yang tinggi sebagai sumber atau basis bagi
ilmu-ilmu umum yang biasa kita sebut sebagai sains, yakni cabang-cabang ilmu
yang berkaitan dengan dunia empiris, dunia fisik.
Dalam tradisi Islam,
Filsafat adalah induk dari semua ilmu yang menelaah ilmu rasional (aqliyyah)
seperti metafisika, fisika dan matematika. Adapun ’sains’ dalam tradisi ilmiah
Islam adalah termasuk kedalam kelompok ilmu rasional dibawah ilmu-ilmu fisik,
sehingga mau tidak mau sains harus tetap menginduk kepada filsafat, khususnya
kepada metafisika filsafat. Alih-alih sains dikatakan terlepas dari filsafat
sebagaimana yang disinyalir oleh August Comte, filsafat justru dipandang
sebagai induk dari sains.
Para Filosof Muslim
memandang bahwa terdapat sumber abadi dan sejati bagi segala apapun yang ada
dijagad raya ini, yang pada gilirannnya akan dijadikan sebagai objek penelitian
ilmiah. Sumber sejati ini penting dibicarakan untuk mengetahui asal usul dari
objek apapun yang akhirnya kita pilih untuk diteliti, tak terkecuali
objek-objek fisik. Tanpa sumber sejati seperti yang disebutkan diatas maka
tidak mungkin ada apapun yang bisa kita jadikan sebagai objek penelitian kita.
Tuhan, itulah sumber
sejati yang dimaksud, darimana segala sesuatu itu berasal. Dalam Islam, alam
raya ( yang akan dijadikan objek penelitian oleh sains) disebut sebagai
ayah/ayat atau tanda-tanda Tuhan. Menurut Muhammad Iqbal, alam tak lain adalah
medan kreativitas Tuhan. Oleh karena itu barang siapa saja yang meneliti dan
mengadakan kajian terhadap alam semesta, maka sesungguhnya dia sedang melakukan
penelitian terhadap cara Tuhan bekerja dalam penciptaan atau dalam bahasa yang
lebih populer, maka sesungguhnya orang (sains) tersebut sedang melakukan
penelitian tentang sunnatullah.
Dengan melihat apa yang
dikatakan Muhammad Iqbal tersebut, maka seharusnya setiap orang yang mengadakan
kajian dan penelitian terhadap alam maka seyogyanya makin bertambahlah
kepercayaannya (imannya) kepada sang Pencipta (Tuhan) dan bukan malah
sebaliknya seperti yang sering terjadi didunia barat dimana mereka malahan
berusaha menyingkirkan Tuhan dari arena penelitiannya.
Selain sebagai basis
metafisik ilmu (sains), filsafat juga bisa dijadikan sebagai basis moral bagi
ilmu dengan alasan bahwa tujuan menuntut ilmu dari sudut aksiologis adalah
untuk memperoleh kebahagiaan bagi siapa saja yang menuntutnya.
Filsafat, khususnya
Metafisika adalah ilmu yang mempelajari sebab pertama atau Tuhan, yang menempati
derajat tertinggi dari objek ilmu. Oleh karena itu sudah semestinyalah jika
metafisika dijadikan basis etis peneletian ilmiah karena ilmu ini akan
memberikan kebahagiaan kepada siapa saja yang mengkajinya.
Perlu kita ingat
kembali, bahwa dalam tradisi ilmiah Islam, filsafat disebutkan sebagai sumber
segala ilmu rasional (aqli) seperti matematika, fisika dan metafisika serta
sub-devisi-sub-devisi mereka seperti :
Sub-devisi Matematika :
Aritmatika-Geometri-Aljabar-Musik-Astronomi
dan Teknik.
Sub-devisi Fisika :
Minerologi-Botani-Zoologi-Anatomi-Kedokteran
dan Psikologi
Sub-devisi Metafisika :
Ontologi-Teologi-Kosmologi-Antropologi-Eskatologi.
Maka dari itu, tidaklah
mengherankan kalau filosof besar jaman dulu seperti Ibnu Sina dan Mulla Sadra
menguasai bukan hanya metafisika filsafat tetapi juga seluruh cabang ilmu
rasional dan sub-devisi-sub-devisinya. Tiba kepada kita sekarang ini, bagaimana
mungkin kebanyakan dari mereka (orang barat) malah menyingkirkan induk ilmu
(filsafat) itu dari sains yang jelas-jelas merupakan anak kandung dari filsafat
iitu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar