Guru. Siapa yang tak
kenal kata ini. Sejak kita masih balita, kita sudah mulai berkenalan dengannya.
Tidak dapat dipungkiri, guru memegang peranan penting dalam karir hidup kita.
Hal ini dapat terlihat di sekitar kita, dimana kita dapat dengan cukup mudah
membedakan orang yang berpendidikan dengan yang tidak. Mungkin dari cara
pandangnya, caranya mengatasi masalah, bahkan bisa jadi dari caranya berpakaian
pun terlihat perbedaan, maa yang merpendidikan dan tidak. Orang yang tidak
berpendidikan menyelesaikan masalah dengan mempelajari pengalaman hidup dan
naluri. Namun, berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan, orang yang
berpendidikan mengatasi masalah denga tools yang lebih lengkap, yaitu dengan
mempelajari pengalaman hidup, naluri, serta ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
inilah yang menjadi pembeda. Ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan
pendidikan, bagaimanapun jenis pendidikan itu. Disinilah peran seorang Guru
menjadi sangat vital. Guru berperan sebagai fasilitator, sebagai orang yang
wajib bisa menjawab apa saja yang ditanyakan oleh muridnya, dan tentunya
sebagai pengayom, pemberi kasih sayang bagi muridnya, serta sebisa mungkin
menjadi orang tua kedua bagi murid muridnya.
Dan seiring perjalanan
waktu, peran vital guru mulai terkikis. Terkikis secara perlahan sekali, seakan
tidak terjadi apa apa namun dibalik itu, kita bisa melihat keterkikisan itu
dengan jelas. Komparasi dapat kita lakukan untuk melakukan. Bandingkan antara
sekarang dengan masa lalu, lima sampai sepuluh tahun lalu. Kita mulai dengan
perbandingan output, yaitu orang orang yang sekarang telah dewasa dan memiiki
pekerjaan, dengan anak anak yang kini tengah mengenyam bangku pendidikan
menengah. Terlihat bahwa anak anak jaman dulu, atau yang sekarang sudah menjadi
orang dewasa memiliki penghargaan lebih terhadap guru. Anak anak jaman dulu
hidupnya lebih tertib. Pagi sekolah, siang istIrahat, sore mengaji di langgar.
Rata rata anak anak jaman dulu memiliki pondasi agama yang baik karena memang
pendidikan tentang agama dan kehidupan tidak hanya diajarkan dalam batas batas
kompetensi dalam kurikulum. Namun lebih dari itu, pendidikan tentang kehidupan
juga dilakukan setiap kesempatan. Seorang guru tak hanya mengajarkan
perhitungan perhitungan, hafalan, logika logika serta rasio berfikir untuk
menyelesaikan soal saja, lebih dari itu guru menggunakan hal hal tersebut untuk
mengajak kita lebih memahami hakekat kehidupan dan membangun pondasi spiritual
anak anaknya. Tak jarang dulu ketika mengajar, seorang guru senior menceritakan
sebuah kisah tentang kehidupan, dengan contoh contoh teladan yang dengan pintar
dipilihkan, dibumbui pengetahuan ilmiah, yang membawa kita pada pemahaman yang
lebih akan hakekat kita sebagai makhluk tuhan yang bertakwa dan menggunakan
ilmu pengetahuan untuk tujuan amar ma’ruf nahi munkar. Hal inilah yang
menyebabkan rata rata anak anak jaman dulu memiliki pemahaman agama, serta rasa
peka lingkungan yang baik. Sehingga, pada zaman dulu, sangat jarang kita dengar
ada anak yang berani pada orang tua, memberandal, suka mengeluarkan kata kata
kotor, dan perbuatan perbuatan buruk lainnya yang sekarang sepertinya telah
menjadi pemandangan yang biasa kita temukan disekitar kita.
Sekarang komparasi
kedua dapat dilakukan. Setelah sebelumnya yang dibahas adalah fenomena
kehidupan anak anak jaman dulu, kini saatnya kita lihat realita yang ada di
depan mata kita sekarang. Ya, anak masa kini, masa dimana segala hal dapat
diperoleh dengan mudah dan cepat, hal yang seharusnya dapat membuat kita
menjadi lebih bersyukur dan arif. Namun kita menemui suatu fenomena yang dengan
cepat menggerus nilai nilai serta norma yang sudah sejak lama dibangun oleh
bangsa kita. Arus globalisasi menjalar begitu cepat, merasuki setiap sendi
kehdupan, memberi menfaat sekaligus membawa racun bagi masyarakat kita.
Kehilangan norma menyebakan banyak orang kehilangan arah, hanya bertindak
sesuai tren saja. Dan parahnya, anak anak kitalah yang justru paling dekat
dengan ancaman demoralisasi akibat arus globalisasi. Tak jarang kita menemui
seorang anak TK yang sudah fasih mengucapkan kata kata kotor, berani pada orang
tua, memberandal, serta hal-hal negatif lain. Tak jarang kita melihat anak-anak
usia SD mencat rambutnya, menggunakan assesoris blackmetal, dan menonton
musik rock dimana banyak kata kata yang seharusnya tidak pernah mereka kenal
mengalun dalam lirik dan irama musik tersebut. Dalam kondisi seperti ini, perlu
adanya seorang sosok yang memiliki kharisma, wibawa, serta kekuatan untuk
“menundukkan”. Dan ketika seseorang sudah tidak takut pada orang lain sekalipun
orang lain itu adalah orang tuanya sendiri, maka sosok yang paling tepat untuk
“menaklukan” orang tersebut tak lain dan tak bukan, adalah seorang Guru.
Kenapa guru? Mungkin
pertanyaan itu akan muncul dalam benak anda. Guru adalah sebuah katalisator
ilmu. Seperti pada sebuah reaksi kimia, katalisator memegang peranan dalam
kecepatan reaksi. Katalis tidak akan berubah bentuk selama reaksi, namun
efeknya sangat terlihat pada hasil reaksi. Setiap orang pastinya memiliki
kemampuan untuk belajar, yang menjadi pembeda adalah waktu yang dibutuhkan
setiap orang untuk memahami suatu permasalahan dan memecahkanya. Disini guru
mengambil peran katalis tersebut. Guru mengarahkan siswanya untuk lebih cepat
memahami suatu permasalahan, dan kemudian memecahkannya. Disini guru sudah
menunjukan bahwa dia adalah orang yang berilmu, melebihi ilmu yang dikuasai
oleh siswanya. Dari sini rasa hurmat akan muncul. Sebandel apapun seseorang,
selama seorang guru tetap mampu memposisikan dirinya lebih “pintar” dari orang
itu, selama itu pula rasa hormat akan tetap terpatri dalam hati orang itu. Dan
ketika rasa hormat sudah didapat oleh seorang guru, seorang guru bisa
menanamkan pengaruhnya pada anak itu. Disinilah peran guru sebagai orang tua
kedua harus dijalankan. Guru sebisa mungkin memposisikan diri sebagai sahabat
sekaligus orang yang terhormat dihadapa siswanya. Ketika kita dapati tindakan
yang tak sepantasnya dilakukan oleh seorang siswa, guru bisa mengambil tindakan
represif, seperti dengan bentakan dan mungkin sedikit pendekatan “fisik” yang
tak menyakitkan seperti hukuman, dan lainnya. Dengan begitu siswa akan
menyadari tindakan yang dilakukan adalah sebuah kesalahan. Setelah itu, guru
segera bertransformasi sebagai seorang sahabat. Mendatangi siswa, mengajak
diskusi, mengorek keterangan dari siswanya, mengapa dia melakukan hal tersebut.
Seperti pepatah “tak ada gading yang tak retak”, setiap tindakan pasti memiliki
penyebab. Dan setelah mengetahui apa penyebab dari tindakan yang dilakukan
siswa itu, seorang guru harus bisa memberi solusi dari permasalahan yang
dialami siswanya, entah dengan memberi nasihat, atau dengan tindakan konkrit.
Sampai di sini guru sudah memerankan perannya, sebagai pembimbing, pengayom,
orang yang dihormati, pengajar, dan orang tua kedua siswa. Guru tak hanya
menjadi pengajar di kelas yang memberikan deretan persamaan, logika, dan
kompetensi lainya. Lebih dari itu guru ikut serta menjadi bagian dari mekanisme
kontrol sosial masyarakat. Menjadi role model yang disenangi oleh siswanya, dan
tentunya ikut menjauhkan siswanya dari pengaruh buruk lingkungan modern yang
saat ini mengancam perkembangan kejiwaan siswa siswanya.
Guru pada dasarnya
adalah sebuah sintesa dari kalimat “Digugu dan Ditiru”. Kata kata penuh
filosofi tentang ilmu hidup. Sudah selayaknyalah guru tak sekedar menjadi
penjembatan materi materi sekolahan. Namun lebih dari itu, guru lah orang tua
kedua bagi murid, dimana paling tidak seorang murid akan menghabiskan 4 jam
dalam sehari bersama sang guru di institusi pendidikan. Tak pelak, peran guru
bagi kehidupan masa depan sang anak juga signifikan. Dan itu menjadi bukti
nyata, bahwa filosofi guru bukan hanya sebagai katalisator ilmu ilmu bangku
sekolah, namun lebih dari itu, filosofi sang guru, adalah seorang kreator masa depan,
menanamkan idealisme, motivasi dan harapan untuk masa depan anak didiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar