Sabtu, 03 Desember 2016

Filosofi Guru

Guru. Siapa yang tak kenal kata ini. Sejak kita masih balita, kita sudah mulai berkenalan dengannya. Tidak dapat dipungkiri, guru memegang peranan penting dalam karir hidup kita. Hal ini dapat terlihat di sekitar kita, dimana kita dapat dengan cukup mudah membedakan orang yang berpendidikan dengan yang tidak. Mungkin dari cara pandangnya, caranya mengatasi masalah, bahkan bisa jadi dari caranya berpakaian pun terlihat perbedaan, maa yang merpendidikan dan tidak. Orang yang tidak berpendidikan menyelesaikan masalah dengan mempelajari pengalaman hidup dan naluri. Namun, berbeda dengan orang yang tidak berpendidikan, orang yang berpendidikan mengatasi masalah denga tools yang lebih lengkap, yaitu dengan mempelajari pengalaman hidup, naluri, serta ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan inilah yang menjadi pembeda. Ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan pendidikan, bagaimanapun jenis pendidikan itu. Disinilah peran seorang Guru menjadi sangat vital. Guru berperan sebagai fasilitator, sebagai orang yang wajib bisa menjawab apa saja yang ditanyakan oleh muridnya, dan tentunya sebagai pengayom, pemberi kasih sayang bagi muridnya, serta sebisa mungkin menjadi orang tua kedua bagi murid muridnya.
Dan seiring perjalanan waktu, peran vital guru mulai terkikis. Terkikis secara perlahan sekali, seakan tidak terjadi apa apa namun dibalik itu, kita bisa melihat keterkikisan itu dengan jelas. Komparasi dapat kita lakukan untuk melakukan. Bandingkan antara sekarang dengan masa lalu, lima sampai sepuluh tahun lalu. Kita mulai dengan perbandingan output, yaitu orang orang yang sekarang telah dewasa dan memiiki pekerjaan, dengan anak anak yang kini tengah mengenyam bangku pendidikan menengah. Terlihat bahwa anak anak jaman dulu, atau yang sekarang sudah menjadi orang dewasa memiliki penghargaan lebih terhadap guru. Anak anak jaman dulu hidupnya lebih tertib. Pagi sekolah, siang istIrahat, sore mengaji di langgar. Rata rata anak anak jaman dulu memiliki pondasi agama yang baik karena memang pendidikan tentang agama dan kehidupan tidak hanya diajarkan dalam batas batas kompetensi dalam kurikulum. Namun lebih dari itu, pendidikan tentang kehidupan juga dilakukan setiap kesempatan. Seorang guru tak hanya mengajarkan perhitungan perhitungan, hafalan, logika logika serta rasio berfikir untuk menyelesaikan soal saja, lebih dari itu guru menggunakan hal hal tersebut untuk mengajak kita lebih memahami hakekat kehidupan dan membangun pondasi spiritual anak anaknya. Tak jarang dulu ketika mengajar, seorang guru senior menceritakan sebuah kisah tentang kehidupan, dengan contoh contoh teladan yang dengan pintar dipilihkan, dibumbui pengetahuan ilmiah, yang membawa kita pada pemahaman yang lebih akan hakekat kita sebagai makhluk tuhan yang bertakwa dan menggunakan ilmu pengetahuan untuk tujuan amar ma’ruf nahi munkar. Hal inilah yang menyebabkan rata rata anak anak jaman dulu memiliki pemahaman agama, serta rasa peka lingkungan yang baik. Sehingga, pada zaman dulu, sangat jarang kita dengar ada anak yang berani pada orang tua, memberandal, suka mengeluarkan kata kata kotor, dan perbuatan perbuatan buruk lainnya yang sekarang sepertinya telah menjadi pemandangan yang biasa kita temukan disekitar kita.
Sekarang komparasi kedua dapat dilakukan. Setelah sebelumnya yang dibahas adalah fenomena kehidupan anak anak jaman dulu, kini saatnya kita lihat realita yang ada di depan mata kita sekarang. Ya, anak masa kini, masa dimana segala hal dapat diperoleh dengan mudah dan cepat, hal yang seharusnya dapat membuat kita menjadi lebih bersyukur dan arif. Namun kita menemui suatu fenomena yang dengan cepat menggerus nilai nilai serta norma yang sudah sejak lama dibangun oleh bangsa kita. Arus globalisasi menjalar begitu cepat, merasuki setiap sendi kehdupan, memberi menfaat sekaligus membawa racun bagi masyarakat kita. Kehilangan norma menyebakan banyak orang kehilangan arah, hanya bertindak sesuai tren saja. Dan parahnya, anak anak kitalah yang justru paling dekat dengan ancaman demoralisasi akibat arus globalisasi. Tak jarang kita menemui seorang anak TK yang sudah fasih mengucapkan kata kata kotor, berani pada orang tua, memberandal, serta hal-hal negatif lain. Tak jarang kita melihat anak-anak usia SD mencat rambutnya, menggunakan assesoris blackmetal, dan menonton musik rock dimana banyak kata kata yang seharusnya tidak pernah mereka kenal mengalun dalam lirik dan irama musik tersebut. Dalam kondisi seperti ini, perlu adanya seorang sosok yang memiliki kharisma, wibawa, serta kekuatan untuk “menundukkan”. Dan ketika seseorang sudah tidak takut pada orang lain sekalipun orang lain itu adalah orang tuanya sendiri, maka sosok yang paling tepat untuk “menaklukan” orang tersebut tak lain dan tak bukan, adalah seorang Guru.
Kenapa guru? Mungkin pertanyaan itu akan muncul dalam benak anda. Guru adalah sebuah katalisator ilmu. Seperti pada sebuah reaksi kimia, katalisator memegang peranan dalam kecepatan reaksi. Katalis tidak akan berubah bentuk selama reaksi, namun efeknya sangat terlihat pada hasil reaksi. Setiap orang pastinya memiliki kemampuan untuk belajar, yang menjadi pembeda adalah waktu yang dibutuhkan setiap orang untuk memahami suatu permasalahan dan memecahkanya. Disini guru mengambil peran katalis tersebut. Guru mengarahkan siswanya untuk lebih cepat memahami suatu permasalahan, dan kemudian memecahkannya. Disini guru sudah menunjukan bahwa dia adalah orang yang berilmu, melebihi ilmu yang dikuasai oleh siswanya. Dari sini rasa hurmat akan muncul. Sebandel apapun seseorang, selama seorang guru tetap mampu memposisikan dirinya lebih “pintar” dari orang itu, selama itu pula rasa hormat akan tetap terpatri dalam hati orang itu. Dan ketika rasa hormat sudah didapat oleh seorang guru, seorang guru bisa menanamkan pengaruhnya pada anak itu. Disinilah peran guru sebagai orang tua kedua harus dijalankan. Guru sebisa mungkin memposisikan diri sebagai sahabat sekaligus orang yang terhormat dihadapa siswanya. Ketika kita dapati tindakan yang tak sepantasnya dilakukan oleh seorang siswa, guru bisa mengambil tindakan represif, seperti dengan bentakan dan mungkin sedikit pendekatan “fisik” yang tak menyakitkan seperti hukuman, dan lainnya. Dengan begitu siswa akan menyadari tindakan yang dilakukan adalah sebuah kesalahan. Setelah itu, guru segera bertransformasi sebagai seorang sahabat. Mendatangi siswa, mengajak diskusi, mengorek keterangan dari siswanya, mengapa dia melakukan hal tersebut. Seperti pepatah “tak ada gading yang tak retak”, setiap tindakan pasti memiliki penyebab. Dan setelah mengetahui apa penyebab dari tindakan yang dilakukan siswa itu, seorang guru harus bisa memberi solusi dari permasalahan yang dialami siswanya, entah dengan memberi nasihat, atau dengan tindakan konkrit. Sampai di sini guru sudah memerankan perannya, sebagai pembimbing, pengayom, orang yang dihormati, pengajar, dan orang tua kedua siswa. Guru tak hanya menjadi pengajar di kelas yang memberikan deretan persamaan, logika, dan kompetensi lainya. Lebih dari itu guru ikut serta menjadi bagian dari mekanisme kontrol sosial masyarakat. Menjadi role model yang disenangi oleh siswanya, dan tentunya ikut menjauhkan siswanya dari pengaruh buruk lingkungan modern yang saat ini mengancam perkembangan kejiwaan siswa siswanya.
Guru pada dasarnya adalah sebuah sintesa dari kalimat “Digugu dan Ditiru”. Kata kata penuh filosofi tentang ilmu hidup. Sudah selayaknyalah guru tak sekedar menjadi penjembatan materi materi sekolahan. Namun lebih dari itu, guru lah orang tua kedua bagi murid, dimana paling tidak seorang murid akan menghabiskan 4 jam dalam sehari bersama sang guru di institusi pendidikan. Tak pelak, peran guru bagi kehidupan masa depan sang anak juga signifikan. Dan itu menjadi bukti nyata, bahwa filosofi guru bukan hanya sebagai katalisator ilmu ilmu bangku sekolah, namun lebih dari itu, filosofi sang guru, adalah seorang kreator masa depan, menanamkan idealisme, motivasi dan harapan untuk masa depan anak didiknya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar