Aksiologi
atau nilai guna dan kemanfaatan ilmu pengetahuan disebut juga dengan teori
nilai. Pada tataran aksiologi, filsafat hendaknya mampu menjawab pertanyaan
tentang “untuk tujuan apa ilmu pengetahuan digunakan?”, “bagaimana hubungan
penggunaan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai etika dan moral?”, “bagaimana
tanggung jawab sosial ilmuan?”, dan “apakah ilmu pengetahuan itu bebas nilai (meaningless)
atau sarat nilai (meaningfull)?”
Bertolak
dari uraian di atas, maka kajian aksiologi ilmu menurut al-Qur’an akan
menjelaskan tentang apa nilai guna dan kemanfaatan ilmu menurut al-Qur’an,
untuk tujuan apa ilmu dipelajari dan dikembangkan, bagaimana tanggung jawab
sosial seorang ilmuwan muslim, apakah ilmu itu bebas nilai atau sarat nilai
menurut al-Qur’an? Ilmu bukan sesuatu yang berada di ruang hampa yang tidak
memiliki nilai guna dan manfaat tetapi sesuatu yang beneficial, memiliki
nilai guna dan manfaat, serta bukan sebaliknya yang dapat merusak, baik merusak
kehidupan manusia maupun merusak kehidupan alam dan lingkungan.
Ilmu harus
digunakan semata-mata untuk kebaikan dan menciptakan kemaslahatan, baik
kemaslahatan bagi manusia, kemaslahatan duniawi dan ukhrawi, maupun
kemaslahatan bagi makhluk-makhluk hidup lain serta lingkungan alam secara
keseluruhan. Nilai guna ilmu pengetahuan selalu dihubungkan dengan kedudukan
dan tugas keberadaan manusia di muka bumi. Keberadaan manusia di muka bumi
memiliki kedudukan ganda, di satu pihak manusia adalah sebagai khalifah dan di
pihak lain manusia berkedudukan sebagai hamba Tuhan (‘abid).
Dalam konteks ini, tujuan ilmu
pengetahuan adalah:
Pertama, sebagai
bekal untuk melaksanakan tugas kekhalifahan. Kata khalifah diambil
dari kata kerja khalafa yang berarti mengganti dan melanjutkan. Menurut
al-Tabari dan al-Qurtubi, kata khalifah secara filosofis
ditafsirkan ke dalam tiga definisi, yaitu: 1) menggantikan yang lain, yakni
menggantikan Allah, 2) segolongan manusia menggantikan segolongan manusia lain,
dan 3) menggantikan selain manusia seperti jin. Namun telah dikatakan bahwa
kedua tafsiran yang pertama sangat kecil kemungkinannya untuk menyebutkan tugas
khalifah. Dengan penekanan kata khalifah tersebut, yakni khalifah Allah,
maka gambaran ketiga terlihat menunjukkan makna yang lebih dalam. Dalam
kedudukannya sebagai khalifah, manusia dituntut untuk memiliki
pengetahuantentang kepemimpinan, kemasyarakatan, kebudayaan, kealaman, dan
pengetahuanpengetahuan praktis yang bersifat profesional, di mana masing-masing
individu satu sama lain saling membutuhkan dan tidak mungkin dimiliki atau
dilakukan semuanya oleh seorang individu. Di samping itu, manusia juga dituntut
untuk memiliki ilmu-ilmu tentang akhlak, etika dan moralitas yang terpuji serta
aturan-aturan hukum (syari‘ah). Semua ilmu pengetahuan tersebut dibutuhkan
manusia untuk dapat menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, ketertiban
dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat serta menjaga keseimbangan dan
kelestarian alam sebagai tempat manusia berkiprah.
Kedua, sebagai
bekal untuk menjalankan tugas penghambaan kepada Tuhan. Kata‘abd (‘abada-ya‘budu-‘abdan),
menurut Quraish Shihab, paling tidak memiliki tiga arti, yaitu:
1) sesuatu yang dimiliki, 2) sejenis
tumbuhan yang beraroma harum, dan 3) anak panah.
Jadi,
berdasarkan arti yang pertama, maka abdi Allah, abdi bangsa atau abdi apapun
berarti sesuatu yang dimiliki dan sekaligus menjadi alat, atau menjadi
seseorang yang memiliki aroma harum bagi lingkungannya. Dalam kamus Arabic-English
Dictionary, suntingan JM Cowan (1976), kata kerja abada bisa
berarti melayani (to serve), menyembah (to worship) kepada Tuhan.
Sebagai kata benda, kata ‘abdun berarti budak (slave, serv)
yang bentuk jamaknya adalah ‘abid yang berarti orang-orang
yang menjadi pelayan. Bentuk jama yang lain adalah `ibad yang
berarti hamba-hamba Tuhan. Bentuk masdarnya jika ditafsirkan menjadi ibadah
artinya adalah penyembahan (worship) dan pengabdian kepada Ilahi, juga
bisa berarti kegiatan ibadah yang bersifat ritual, seperti menjalankan shalat
dan berdoa.
Dalam
kedudukannya sebagai hamba Tuhan (‘abid), manusia dituntut selain untuk memiliki
pengetahuan tentang keyakinan yang benar akan eksistensi Tuhan, sifat-sifat
Tuhan,
makna dan eksistensi kehidupannya di
alam dunia maupun alam akhirat, mahluk-mahluk Tuhan yang tidak tampak kasat
mata tetapi mereka ada di sekitar kita dan saling berhubungan, tentang
kehidupan sesudah mati, alam barzakh, kiamat, surga dan neraka, dll. juga
untukmemiliki ilmu tentang aturan-aturan Tuhan yang diperuntukkan bagi manusia,
tentang tata.
Dari uraian
di atas tampak jelas bahwa menurut al-Qur’an pengembangan ilmu memiliki tujuan
yang mulia yakni untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam
semesta. Sebaliknya, ilmu tidak boleh digunakan untuk tujuan yang dapat
mengakibatkan kerusakan di muka bumi baik merusak manusia secara individu
maupun sosial maupun merusak alam dan lingkungan. Dengan demikian, pengembangan
ilmu sejatinya terikat dengan nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan (meaningfull).
Al-Qur’an tidak dapat menerima pandangan sebagian filosof dan ilmuan Barat yang
berpendapat bahwa ilmu dapat bebasdinilai (meaningless). Pandangan yang
menyatakan bahwa ilmu bebas nilai dikemukakan oleh para filosof dan ilmuan
sekuler yang memisahkan ilmu dari nilai-nilai agama, etika dan moral. Seperti
jargon mereka yang mengatakan bahwa “ilmu untuk ilmu” atau “seni untuk seni”,
sehingga pengembangan ilmu pengetahuan dan seni tidak perlu memperhatikan
nilai-nilai moral, etika dan agama. Pandangan yang demikian jelas bertentangan
dengan konsep ilmu dalam al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar