Jumat, 30 Desember 2016

Tokoh Filsafat Islam “Al-Kindi” dan Pemikirannya


1.      Sejarah Hidup
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu ‘Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi. Kindah merupakan suatu nama  kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari keluarga kaya dan terhormat. Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, Al- Wasiq, dan Al-Mutawakkil.
Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi  Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai  disiplin ilmu. Oleh karena itu tidak heran jika ia dapat menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik meteorologi, optika, kedokteran, matematika, filsafat, dan politik.
Penguasaannya terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia  dinilai pantas menyandang gelar Faiasuf al-‘Arab (filosof berkebangsaan Arab).
2.      Filsafat atau Pemikirannya
a.       Talfiq
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya filsafat adalah pengetahuan yang benar ( knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan  dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri”. Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi beragama.
Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini menurut Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena hal itu dapat dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaaan antara keduanya, yaitu:
1) Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
2)    Jawaban filsafat menunjukan ketidakpastian (semu) dan memerlukan berpikir atau perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.
3)   Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan. Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak mendewa-dewakan akal.
b.      Jiwa
Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh Tuhan.
3.      Moral
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.

Al-Qur’ān Dan Ḥadīts Sebagai Sumber dan Inspirasi Falsafah Islam

Dalam kacamata tradisi intelektual Barat, falsafat Islam terlihat hanya sebatas falsafat Yunani dalam baju Arab yang salah satu dari perannya adalah menyalurkan unsur-unsur penting tertentu dalam warisan zaman kuno kepada Barat abad pertengahan. Tetapi, jika kita melihat aspek historis berdasarkan tradisi filosofis Islam yang mempunyai perkembangan intelektual yang tidak diragukan lagi oleh dunia sejarah berkesinambungan dua belas abad dan masih tetap hidup hingga sampai saat ini, menjadi sangat jelas bahwa falsafat Islam seperti hal-hal lainnya yang berlabel ”Islam”, berakar pada al-Qur’ân dan Ḥadīts .
Mengapa para intelektual Barat berpendapat negatif seperti di atas, tak lain disebabkan oleh dua faktor yang begitu menonjol. Pertama, kegairahan para terpelajar Muslim dalam menelaah, mengulas dan menerjemahkan teks-teks peradaban yunani.  Kedua, minimnya penguasaan kalangan  sarjana Barat tentang literatur kebudayaan Islam secara umum dan perkembangan pengetahuan di Persia secara khusus. Jelas semua itu yang mempengaruhi pola berpikir mereka sehingga menimbulkan persepsi yang sedemikian rupa.
Falsafah Islam adalah (bersifat) Islam, bukan karena ia dibudidayakan di Dunia Islam dan dilakukan oleh kaum muslim, melainkan juga karena menjabarkan prinsip-prinsip dan menimba inspirasi dari sumber-sumber wahyu Islam, serta menangani banyak permasalahan dengan sumber itu kendatipun ada klaim-klaim yang berlawanan dari pada penentangnya. Tidak hanya sebatas pembudidayaan falsafah Yunani di dunia Islam yang dilakukan oleh para filsuf Muslim, melainkan juga karena menjabarkan atau mendeskripsikan prinsip-prinsip filosofis dan menimba inspirasi dari sumber-sumber wahyu Islam serta menangani banyak persoalan-persoalan yang bersifat filosofis dengan sumber-sumber yang ada. Semua filsuf Muslim yang diawali oleh al-Kindî sampai filsuf saat ini ’Allâmah Thabâthabâ’î yang hidup dan bernafas dalam satu komunitas yang diwarnai oleh realitas al-Qur’ân dan Sunnah Nabi. Yang demikian merupakan salah satu indikasi yang bertentangan dengan kacamata tradisi intelektual Barat yang menganggap bahwa falsafat Islam terlihat hanya sebatas falsafat Yunani dalam baju Arab.
Setidak-tidaknya ada dua faktor yang dapat membuktikan bahwa prinsip-prinsip falsafat Islam berakar dari al-Qurân dan Sunnah. Pertama, dari segi sumber kita mendapatkan semangat kuat para filsuf Muslim dalam bertindak selalu berlandaskan kepada al-Qur’ân dan Sunnah. Sebagaimana dalam ketentuan syarî’at Islam, setiap Muslim harus hidup berlandaskan kepada Al-Qur’ān dan Sunnah. Begitu pula dengan para filsuf maupun para intelektual Muslim dalam bertindak harus berlandaskan kepada keduanya. Al-Qur’ân dan Sunnah telah merombak pola berfalsafat dalam Islam secara radikal sehingga lahirlah hal yang disebut sebagai falsafat profetik. Jadi, kandungan al-Qur’ân dan pancarannya kepada Nabi Muhammad SAW mampu menyinari setiap kajian falsafat dan pengetahuan dalam Islam dan ini merupakan satu bukti bahwa ia adalah seorang failasuf.
Kedua, falsafah dalam al-Qur’ân adalah al-Hikmah. Kata tersebut tercatat dalam al-Qur’ân  berkali-kali di dalamnya, sedangkan failasuf orang yang menekuni falsafah/berfalsafah tercatat sebagai al-Hakîm. Seperti kita ketahui mengenai para nabi baik yang harus kita ketahui maupun tidak mengajarkan al-Kitâb dan al-Hikmah. Dengan kata lain para nabi adalah para failasuf.
Selain dari itu, dalam surah Luqmân yang dimulai huruf-huruf simbolik yaitu alif, lâm, mîm yang kemudian diikuti oleh ayat selanjutnya yang artinya: ”inilah ayat-ayat al-Qur’ân yang mengandung hikmah” (al-Kitâb al-Hakîm), yang menyebutkan secara langsung istilah hikmah. Kemudian dalam ayat 12 surah ini dinyatakan, “ dan sesungguhnya telah kami berikan hikmah (kebijaksanaan) kepada luqman, yaitu: ‘ Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur kepada dirinya sendiri, dan barang siapa tidak bersyukur maka sesungguhnya Allah maha kaya dan lagi maha terpuji.” dalam ayat ini tampak jelas bahwa pemberian Hikmah dianggap sebagai anugerah bagi orang yang mau berterimakasih , kebenaran ini ditandaskan lebih lanjut oleh ayat yang terkenal, “Allah memberikan hikmah (kebijaksanaan) kepada siapa yang dikehendakinya,. Dan barang siapa yang memberi hikmah itu, sunguh telah diberi kebajikan yang banyak,….” (QS. Al-Baqarah : 269).
Realitas al-Qur’ân dan Wahyu yang dapat diakses oleh manusia harus menduduki posisi sentral bagi setiap orang yang hendak berfalsafat dalam dunia Islam. Falsafat Islam sangat erat sekali kaitannnya dengan dimensi eksternal al-Qur’ân (syarî’at) maupun dengan kebenaran internal (haqîqah) yang merupakan jantung segala sesuatu hal dalam Islam. Hal ini akan mengarahkannya kepada sejenis falsafat yang berorientasikan menempatkan kitab wahyu bukan hanya sekedar sumber primer yang tertinggi dalam pengetahuan bagi hukum-hukum keagamaan (syarî’at), melainkan juga sebagai sumber primer yang tertinggi dalam pengetahuan bagi hakikat eksistensi dari segala sumber eksistensi, karena pada dasarnya hakikat dari segala hakikat adalah Tuhan itu sendiri.
Sebagian ahli syarî’at mengambil sikap kontra terhadap falsafat dan sebagian lagi tidak. Namun, pada kenyataannya para failasuf terkemuka seperti Ibn Rusyd, Ibn Sînâ dan para filsuf lainnya merupakan tokoh-tokoh yang ahli dalam bidang syarî’at sekaligus mempunyai otoritas dalam mengambil suatu ketentuan hukum dalam hal tersebut.
Adapun pikiran-pikiran dalam falsafat Yunani jelas menjadi materi kajian oleh para failasuf muslim. Bila materi-materi yang dikaji yang berasal dari falsafat Yunani itu memiliki bentuk-bentuk atau rumusan-rumusan yang sejalan atau tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran wahyu dalam Islam, maka dapat saja langsung diambil sepenuhnya menjadi bagian dalam falsafat Islam, maka materi-materi demikian perlu diberi bentuk yang sesuai dengan ajaran wahyu dalam Islam. Sehinggakenapa orang Islam masih menggunakan pemikiran Yunani, sementara sudah ada dalam Al-Qur’ān?Karena untuk memberi corak yang baru, terutama pengaruhnya dalam bentuk pemikiran, pengaruh logika yunani besar sekali, ilmu-ilmu Islam diberi warna baru, ditempa menurut pola Yunani dan disusun sesuai sistem Yunani. Jadi logika Yunani mempunyai pengaruh yang sangat besar pada alam pemikiran Islam (di zaman bani Abbas). Walaupun dalam Islam sendiri sudah ada isi dari falsafat itu, dan yang membedakan antara falsafat Islam dengan Yunani adalah dalam bentuk isi nya yang berbeda antara falsafat Yunani dengan Islam. Falsafat Islam dapat diibaratkan seperti hubungan antara materi dan bentuk. Islam (yakni wahyunya) telah memberi bentuk baru kepada falsafat Yunani sehingga falsafat dengan bentuk yang baru tidak pantas lagi disebut falsafat Yunani. Ia hanya pantas disebut falsafat Islam karena pola-pola ajaran Islam yang erat kaitanya dengan masalah-masalah falsafat, telah membentuk falsafat Yunani sedemikian rupa sehingga bentuk-bentuk falsafatnya tak ada lagi yang bertentangan dengan bentuk ajaran wahyu dalam Islam.
Dengan demikian, kajian yang mendalam mengenai falsafat Islam selama dua belas abad lamanya mampu mengungkapkan peranan al-Qur’ân dan Ḥadīts  dalam perumusan, penjelasan, dan pemecahan seluruh problematika tradisi filosofis yang besar dan utama ini. Karena, falsafat Islam pada dasarnya merupakan hermeneutika filosofis dan teks sakral di samping memanfaatkan khazanah falsafat zaman purba kala. Itulah sebabnya mengapa falsafat Islam selama berabad-abad sampai hari ini merupakan salah satu faktor atau perspektif intelektual utama dalam peradaban Islam yang tertanam dalam al-Qur’ân dan Ḥadīts.

Rabu, 28 Desember 2016

Peringatan Para Ulama Tentang Bahaya Filsafat

Menyadari betapa besar kerusakan yang ditimbulkan filsafat terhadap pemahaman kaum muslimin terhadap agamanya, maka para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dulu dan sekarang tiada henti-hentinya memperingatkan umat Islam dari bahaya filsafat. Ilmu filsafat dikembangkan dalam bentuk-bentuk baru seperti ilmu kalam, ilmu mantiq, ilmu falaq, dan lain lain. Ini adalah dalam rangka mengelabui umat Islam dari pertentangan filsafat dengan islam sehingga menyeret umat Islam keluar dari agamanya tanpa terasa.
Dalam hal ini Al-Hafidh Jamaluddin Abil Faraj Abdurrahman Ibnul Jauzi Al-Baghdadi rahimahullah (meninggal tahun 597 Hijriah), beliau menerangkan dalam kitab karyanya berjudul Talbis Iblis (Perangkap Iblis) halaman 82 (cet. Matba’ah An-Nahdlah, tahun 1928 M):
Sesungguhnya iblis apabila telah berhasil menyesatkan orang-orang bodoh dengan menjerumuskan mereka ke dalam sikap taqlid (yakni mengikuti tanpa mengerti, pent) dan menggiring mereka seperti menggiring binatang ternak. Iblis pun kemudian melirik golongan lain dari Bani Adam yang mereka ini mempunyai kecerdasan dan kepandaian. Maka mereka pun disesatkan sesuai dengan kadar kemampuannya menguasai mereka. Maka sebagian dari mereka digiring; kepada kesan betapa jeleknya kejumudan dalam bertaqlid dan dianjurkan setelah itu untuk memahami agama dengan akal pikirannya sendiri dan kemudian setiap dari mereka disesatkan dengan berbagai cara. Sebagian mereka disesatkan dengan satu kesan, bahwa terpaku dengan pengertian dhahir syariat adalah kelemahan, sehingga mereka digiring kepada salah satu dari madzhab-madzhab filsafat. Dan terus mereka berkembang dalam madzhab filsafat itu dalam memahami makna batin syariah, sehingga filsafat itu mengeluarkan mereka dari Islam.
Selanjutnya Ibnul Jauzi menegaskan:
Dari mereka ini ada pula yang disesatkan oleh Iblis dengan digiring kepada kesan baiknya prinsip tidak mempercayai adanya sesuatu kecuali kalau sesuatu itu bisa dirasakan keberadaannya oleh panca indera Dikatakan kepada mereka: Dengan panca indera, kalian bisa mengetahui bukti kebenaran omongan kalian.
Kemudian beliau menambahkan:
Dan sebagian mereka (orang-orang yang cerdas dan pandai) itu ada yang ditanamkan rasa benci oleh iblis terhadap taqlid dan sebagai gantinya ditanamkan semangat mendalami ilmu kalam dan meneladani sepak tejang kaum filosof, agar dengan cara demikian mereka bisa keluar dari lingkup orang awam. Demikianlah anggapan mereka. Padahal sesungguhnya beraneka ragam kesesatan para ahli ilmu kalam yang dengan ilmu kalam itu telah menjerumuskan mayoritas mereka kepada berbagai keraguan dan bahkan sebagian mereka telah tejerumus kepada atheisme. Dan para ulama ahli fikih terdahulu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka diam, tidak man bicara tentang ilmu kalam, bukannya karena mereka tidak mampu untuk berbicara tentang hal tersebut, tetapi karena semata-mata karena mereka melihat bahwa ilmu kalam ini tidak akan menghilangkan dahaga orang yang haus dan kemudian orang yang sehat dengan ilmu ini tidak bisa menolak penyakit. Oleh karena itu mereka para ulama menahan diri untuk berbicara tentang ilmu ini dan mereka melarang umat untuk mendalami ilmu ini.
Sehingga Al-Imam Syafi’i mengatakan:
Sungguh seandainya seorang hamba Allah terjatuh pada segenap apa yang dilarang oleh Allah selain syirik, lebih baik baginya daripada mempelajari ilmu kalam.
Beliau (Imam Syafi’i) menyatakan pula:
Apabila engkau mendengar ada seseorang memperdebatkan tentang apakah nama Allah itu menunjukkan sifatnya atau tidak menunjukkannya, maka persaksikaniah bahwa orang yang berbicara demikian ini adalah ahli ilmu kalam, dan orang demikian ini tidak ada agamanya.
Juga beliau menyatakan:
Hukuman terhadap ulama ilmu kalam ialah mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian dikelilingkan di berbagai kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan mereka: Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan terjun dalam ilmu kalam.
Berkata Al-Imam Ahmad bin Hanbal:
Tidak akan selamat selamanya orang yang berpegang dengan ilmu kalam. Ulama ilmu kalam itu adalah’para zindiq (yakni orang-orang yang menyembunyikan di hatinya kekafiran, tetapi menampakkan keimanan).
Demikianlah Ibnul Jauzi membawakan keterangan dan menukil perkataan ulama Ahlus sunnah tentang kedudukan ilmu kalam dan jahatnya ulama ilmu kalam. Padahal ilmu kalam hanyalah sebagian dari ilmu-ilmu filsafat.

Kesesatan Dalam Filsafat

Kesesatan dalam Bernalar
Dalam berpikir atau bernalar setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dan pengalaman dan pemahaman yang berbeda pula. Dengan demikian, akan bermacam pula macam-macam kesesatanyang mungkin terjadi. Menurut Khadra (2012) ada 16 macam kesesatan dalam bernalar, yaitu :
a.      Argumentum ad hominem abusif
Merupakan argumen yang diarahkan untuk menyerang manusianya secara langsung. Penerapan argumen ini dapat melecehkan pribadi individu yang menyatakan argumen. Contoh: Jangan minta Ao untuk mengganti bola lampu, tubuhnya pendek!
b.      Argumentum ad hominem sirkumstansial
Merupakan argumen yang menyerang keyakinan dan lingkungan hidup seseorang, bukan pada konten yang ia ucapkan. Contoh: Ia mana tahu tata cara beribadah yang benar, dia kan tidak beragama.
 c.       Argumentum ad verecundiam
Merupakan sesat pikir dimana nilai penalaran ditentukan oleh keahlian atau kewi-bawaan orang yang mengemukan. Suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seorang yang sudah terkenal karena keahliannya. Contoh: Apa yang disarankan oleh dokter pasti benar.
 d.      Argumentum ad baculum
Merupakan argumen ancaman yang mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan bahwa jika ia menolak akan membawa akibat yang tidak diinginkan. Contoh: Jika Anda tidak mengirimkan pesan ini, Anda tidak akan pernah hidup tenang selama 15 tahun.
 e.       Argumentum ad misericordiam
Merupakan sesat pikir yang sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan/ keinginan. Contoh: Seorang tersangka mengatakan bahwa ia sesungguhnya punya istri dan anak yang saat ini kelaparan karena tidak ada suami yang mencarikan mereka nafkah.
 f.        Argumentum ad populum
Merupakan argumen yang menilai bahwa sesuatu pernyataan adalah benar karena diamini oleh banyak orang. Contoh: Mana mungkin agama yang saya anut salah, lihat saja jumlah penganutnya paling banyak di muka bumi.
g.      Argumentum ad ignorantum
Merupakan kesesatan yang terjadi dalam suatu pernyataan yang dinyatakan benar karena kesalahannya tidak terbukti salah, atau mengatakan sesuatu itu salah karena kebenarannya tidak terbukti ada. Contoh: Diamnya perempuan, berarti sama saja dengan menjawab ‘ya’.
 h.      Kesesatan non causa pro causa
Merupakan kesesatan yang terjadi karena penarikan penyimpulan sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelumnya adalah penyebab sesungguhnya suatu kejadian berda-sarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan. Orang lalu cenderung berkesim-pulan bahwa peristiwa pertama merupakan penyeab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akiat dari peristiwa pertama. Padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat. Contoh: Seorang pemuda setelah diketahui baru putus cinta dengan pacarnya, esoknya sakit. Tetangganya menyimpulkan bahwa sang pemuda sakit karena baru putus cinta.
 i.        Kesesatan karena komposisi dan divisi
Merupakan kesesatan karena komposisi terjadi bila seseorang berpijak pada anggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi individu atau beberapa individu dari suatu kelompok tertentu pasti juga benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif. Contoh: Banyak pejabat pemerintahan korupsi. Yahya Zaini adalah anggota DPR, maka Yahya Zaini juga korupsi.
 j.        Kesesatan aksentuasi
Merupakan kesesatan yang diakibatkan oleh adanya perbedaan tekanan yang dapat membawa perubahan arti. Contoh: Tiap pagi pasukan mengadakan apel. Apel itu buah. Jadi, tiap pagi pasukan mengadakan buah.
 k.       Kesesatan amfiboli
Merupakan kesesatan yang terjadi karena konstruksi kalimat yang sedemikian rupa sehingga artinya menjadi bercabang. Akibatnya, timbul lebih dari satu penafsiran mengenai maknanya, padalahal hanya satu saja makna yang benar, sementara makna yang lain pasti salah. Contoh: Kucing makan tikus mati
Arti 1: Kucing makan, lalu tikus mati
Arti 2: Kucing makan tikus, lalu kucing tersebut mati
Arti 3: Kucing sedang memakan seekor tikus yang sudah mati.
l.        Kesesatan equivokasi verbal
Merupakan jenis kesesatan yang terjadi dalam percakapan dimana bunyi yang sama disalah artikan menjadi dua maksud yang berbeda. Contoh: Percakapan antara anak Sunda (A) dengan anak dari kota (B)
A : Ini teh susu.
B : Mana teh nya ?
A : Ini teh susu.
B : Itu susu, mana teh nya ?
(B tersebut tidak mengerti apa arti teh yang digunakan oleh A. B hanya mengetahui bahwa teh merupakan salah satu jenis minuman)
m.    Kesesatan metaforis
Merupakan kesesatan yang terjadi karena pencampur-adukkan arti kiasan dan arti sebenarnya. Contoh: Pemuda adalah tulang punggung negara
(Pemuda adalah arti sebenarnya dari orang-orang yang berusia muda, sedangkan tulang punggung adalah arti kiasan karena kenyataannya negara tidak memiliki tubuh biologis dan tidak memiliki tulang punggung layaknya mahluk vertebrata).
n.      Petitio principi
Merupakan kesesatan yang terjadi dalam kesimpulan atau pernyataan pembenaran dimana didalamnya premis digunakan sebagai kesimpulan dan sebaliknya, kesimpulan dijadikan premis. Contoh: Belajar logika berarti mempelajari cara berpikir tepat, karena di dalam berpikir tepat ada logika.
o.      Kesesatan aksidensi
Merupakan kesesatan penalaran yang dilakukan oleh seseorang bila ia memaksakan aturan-aturan/cara-cara yang bersifat umum pada suatu keadaan atau situasi yang bersifat aksidental; yaitu situasi yang bersifat keabetulan, tidak seharusnya ada atau tidak mutlak. Contoh: Orang yang makan banyak daging akan menjadi kuat dan sehat, karena itu vegetarian juga seharusnya makan banyak daging supaya sehat.
p.          Ignorantio elenchi
Merupakan kesesatan yang terjadi saat seseorang menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya. Contoh: Dika merupakan remaja pendiam yang baik hati, tidak mungkin ia melakukan pembunuhan sekejam itu.
Iklan Extra Joss
“Laki minum Extra Joss”
Pernyataan iklan tersebut merupakan salah satu jenis kesesatan dalam penalaran karena dapat menimbukan kesalahan dalam proses penarikan kesimpulan.
Premis “Laki minum Extra Joss”, dapat menghasilkan kesimpulan-kesimpulan seperti:       
Laki minum Extra Joss                        Laki minum Extra Joss
Dodi tidak minum Extra Joss Rina minum Extra Joss
Maka, Dodi bukan laki-laki                 Maka, Rina adalah laki-laki
Kesimpulan-kesimpulan tersebut merupakan kesesatan penalaran karena jenis kelamin seseorang tidak ditentukan oleh kecenderungan mereka untuk apakah meminum atau tidak Extra Joss. Seorang laki-laki tidak mungkin menjadi bukan laki-laki hanya karena jika dia tidak meminum Extra Joss, begitu pula sebaliknya, seorang perempuan tidak mungkin menjadi laki-laki hanya karena jika dia meminum Extra Joss.
Premis di atas merujuk pada kesesatan penalaran tipe Ignorantio elenchi karena kesimpulan yang ditarik tidak relevan dengan premisnya. Dalam hal ini, kesimpulan Dodi bukan laki-laki didasarkan pada apakah dia minum Extra Joss apa tidak, padahal Dodi menjadi laki-laki memang sudah ditakdirkannya begitu sejak ia lahir.

Penolakan Al-Ghazali terhadap Filsafat

Saat ini perkembangan filsafat di dunia Islam sangat memprihatinkan. Mayoritas muslim menolak “the mother of science” ini. Mereka menganggap filsafat sebagai ilmu yang merusak keimanan seseorang. Filsafat dianggap sebagai musuh agama. Oleh karenanya, umat Islam sudah tidak tertarik lagi terhadap filsafat karena menganggapnya sebagai ilmu yang tidak berguna dan bahkan menyesatkan.
Pandangan yang demikian itu tidak hanya dilontarkan oleh mereka yang berpikiran dangkal, tetapi juga oleh mereka yang dianggap sebagai ulama terkemuka, seperti K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Beliau menempatkan filsafat sebagai ilmu yang baik tetapi ketika didalami akan menimbulkan kekacauan berpikir. Sehingga, beliau menganggap filsafat sebagai ilmu yang tidak perlu. Lebih parah lagi, Al-Ghazali yang mendapat gelar “Hujjatul Islam” juga turut memberikan “warning” terhadap filsafat karena dianggap sebagai ilmu yang berbahaya bagi keimanan terutama ketika dipelajari oleh orang-orang awam. Lebih lanjut, Al-Ghazali mengecam keras terhadap tiga kesimpulan para filosof, yaitu keabadian alam, pengetahuan Tuhan sebatas pada yang universal, dan jasad tidak dibangkitkan pada akhir zaman. Menurut Al-Ghazali, tiga kesimpulan itu bisa mengantarkan seorang muslim pada kekafiran.
Rupanya, Al-Ghazali telah salah paham terhadap dua dari tiga kesimpulan para filosof tadi. Pertama, mengenai keabadian alam (ke-qadim-an alam). Al-Ghazali menganggap bahwa filosof telah musyrik karena ada dua entitas yang sama-sama qadim, yaitu Tuhan dan alam. Padahal, yang qadim hanyalah Tuhan. Sehingga, beliau menyimpulkan bahwa alam ada dengan sendirinya tanpa membutuhkan Tuhan.
Sebenarnya, Alam disebut qadim oleh filosof bukan berarti keberadaan alam itu tidak butuh kepada Tuhan. Memang, secara temporal (zamaniy) Tuhan dan alam sama-sama ada sebelum adanya ruang dan waktu. Itulah yang dimaksud alam yang qadim oleh para filosof. Sementara, jika dilihat dari zatnya (zaty), keberadaan alam itu butuh kepada Tuhan. Sehingga, alam itu tetap “baru (hadist)” sebagai lawan dari “abadi (qadim)”. Maka, secara temporal, alam bersifat “qadim”, tetapi secara zat alam tetap bersifat “hadits”. Itu yang disalahpahami oleh Al-Ghazali.
Kedua, Al-Ghazali keliru ketika mengartikan bahwa pengetahuan Tuhan terhadap alam itu bersifat universal, tidak partikular. Al-Ghazali menganggap bahwa para filosof telah mengingkari sifat Maha Tahu yang dimiliki Tuhan sebagaimana keterangan yang banyak terdapat di dalam al-Qur’an. Sebenarnya, filosof tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang partikular dari alam ini, tetapi, filosof mengatakan bahwa cara Tuhan itu berbeda dengan cara manusia dalam mengetahui alam ini.Pengetahuan Tuhan itu sebagai sebab (illat) dari alam ini, sementara, pengetahuan manusia itu sebagai akibat (ma’lul) dari alam ini. Pengetahuan Tuhan tentang alam ini sudah pasti benar sehingga alam ini akan mengikuti pengetahuan Tuhan tersebut. Alam menjadi akibat (ma’lul) dari pengetahuan Tuhan, yang dalam hal ini menjadi sebab (illat). Pengetahuan manusia itu berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap alam ini, sehingga pengetahuan itu tergantung kepada alam. Maka, alam menjadi sebab (illat) bagi pengetahuan manusia, yang dalam hal ini menjadi akibat (ma’lul).
Kesalahpahaman yang dialami oleh Al-Ghazali tersebut menunjukkan bahwa tidak selamanya fatwa dari seorang ulama besar itu pasti benar. Fatwa beliau bahwa filsafat itu berbahaya adalah tidak benar karena dibangun atas persepsi yang keliru terhadap kesimpulan para filosof tadi.
Pemaparan di atas memberikan informasi kepada kita perihal alasan Al-Ghazali mengharamkan filsafat, yakni karena beberapa kesimpulan para filosof. Kesimpulan-kesimpulan tersebut sebenarnya berkaitan dengan ajaran Neoplatonisme yang muncul pada abad ke-2M. Aliran ini mengatakan bahwa Tuhan itu mutlak berbeda dengan alam. Tuhan Yang Maha Tinggi tidak patut menciptakan alam yang rendah ini. Maka, untuk menjelaskan bagaimana terciptanya alam ini, aliran Neoplatonisme menganggap bahwa ada yang mewakili Tuhan untuk mengatur alam ini, yakni yang dinamakan dengan “nous” (akal). Ajaran tersebut telah mengantar para filosof muslim kepada tiga kesimpulan tadi.
Dengan demikian, sebenarnya Al-Ghazali tidak menolak keseluruhan sistem filsafat yang selama ini dibangun. Beliau hanya menolak ajaran Neoplatonisme. Bukan filsafat secara keseluruhan. Al-Ghazali dan pengikut-pengikutnya sampai saat ini masih tetap menggunakan logika Aristoteles, misalnya. Itu menunjukkan bahwa Al-Ghazali tidak menolak filsafat secara keseluruhan. Pelajaran Mantiq yang diajarkan di pesantren-pesantren sampai saat ini tidak lain adalah logika Aristoteles yang sudah ada sejak 5 abad sebelum masehi.
Jadi, filsafat harus tetap hidup di dunia Islam agar umat Islam bisa meraih kembali kejayaan seperti di masa lalu. Terbukti, ketika masa dinasti Abbasiyyah dilakukan penerjemahan buku-buku filsafat serta buku-buku pengetahuan lainnya, umat Islam memperoleh kejayaan yang luar biasa, jauh melampaui Eropa. Wallahu’alambishshawab

Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani : Kajian Doktrin

Dalam al-Qur’an, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan banyak dipakai untuk perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan ajaran-ajaran agama Islam sendiri.namun demikian, ajaran Islam, aka tidak diberikan kebebasan mutlak sehingga pemikir Islam dapat melanggar garis-garis yang telah ditentukan al-Qur’an dan al-Hadis, tetapi tidak pula diikat dengan ketat. Dibatasi oleh teks yang qath’i al-wurud dan qath’i ad-dalalah.
Pemakaian akal yang diperintahkan al-Qur’an mendorong manusia untuk meneliti alam sekitarnya dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Peranan akal yang maksimal dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan Islam dijumpai juga dalam bidang teologi, fiqh dan tafsir al-Qur’an.
Ringkasnya, hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani, secara doktrinal memilki hubungan bahwa Islam memiliki ajaran untuk mencari pengetahuan dan alatnya adalah akal untuk menggali pemikiran yang benar, sehingga melahirkan hubungan fungsional antara filsafat Islam yang berbasis jadali dalam kerangka berpikir filsafat Yunani yang bercorak sintesis, kontinu, dan analogis yang diperlihatkan filsuf Islam kemudian seperti madzhab peripatik, isyraq hingga hikah muta’alliyah.

Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani : Kajian Historis

Kelahiran ilmu Filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa klasik Tengah, yang melahirkan filsuf besar muslim di belahan timur yang berpusat di Baghdad. Menurut Ahmad Salabi dan Louis Ma’luf, ilmu filsafat Islam diketahui setelah masa daulah Abasiah I (132-232 H), melalui penerjemahan dari buku filsafat Yunani di daerah Laut Putih; Iskandariah, Anthakiah, dan Harran. Terlebih masa Al-Makmun yang tertarik kemerdekaan berpikir (198-218 H) dan mengadakan hubungan dengan raja Romawi, Bizantium yang dikenal sebagai kota al-hikmah, pusat ilmu Filsafat.
Filsafat Islam berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia Yunani untuk menerjemahkan kata hikmah yang ada dalam teks keagamaan Islam, seperti al-Qur’an dan as-Sunnah. Orang-orang Islam berkenalan dengan ajaran Aristoteles dalam bentuknya yang telah ditafsirkan oleh orang Syiria, sehingga masuknya unsure Neoplatonisme. Namun, masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti dalam paham tasawuf.
Dengan demikian, tampak jelas adanya hubungan bersifat akomodatif bahwa filsafat Yunani member modal dasar dalam pelurusan berpikir yang ditopang oleh al-Qur’an sejak dulu. Secara teologis, al-Quran sudah ada sejak azali, sehingga filsafat Yunani hanya sebagai pembuka, sementara bahan-bahannya sudah ada dalam al-Qur’an.