Kamis, 01 Desember 2016

Tiga Pokok Pemikiran Immanuel Kant

Immanuel Kant seorang filsuf termasyhur dari Jerman memiliki tiga pokok pemikiran yang harus diketahui terlebih dahulu, dikarenakan pemikirannya begitu original dan terlihat berbeda dari pemikiran para filsuf sebelumnya terutama berangkat dari filsuf Inggris bernama David Hume. Berikut ini pokok pemikirnnya:
1.      Panca indera, akal budi dan rasio. Kita sudah tahu tentang arti empirisme yang mementingkan pengalaman inderawi dalam memperoleh pengetahuan dan rasionalisme yang mengedepankan penggunaan rasio dalam memperoleh pengetahuan, tetapi rasio yang kita ketahui adalah sama dengan akal dan logis, namun Kant memberi definisi berbeda. Pada Kant istilah rasio memiliki arti yang baru, bukan lagi sebagai langsung kepada pemikiran, tetapi sebagai sesuatu yang ada “di belakang” akal budidan pengalaman inderawi. Dari sini dapat dipilah bahwa ada tiga unsur yaitu akal budi (Verstand), rasio (Vernunft) dan pengalaman inderawi.
2.      Dalam filsafatnya Kant mencoba untuk mensinergikan antara rasionalisme dan empirisme. Ia bertujuan untuk membuktikan bahwa sumber pengetahuan itu diperoleh tidak hanya dari satu unsur saja melainkan dari dua unsur yaitu pengalaman inderawi dan akal budi. Pengetahuan a-priori merupakan jenis pengetahuan yang datang lebih dulu sebelum dialami, seperti misalnya pengetahuan akan bahaya, sedankan a-posteriori sebaliknya yaitu dialami dulu baru mengerti misalnya dalam menyelesaikan Rubix Cube. Kalau salah satunya saja yang dipakai misalnya hanya empirisme saja atau rasionalisme saja maka pengetahuan yang diperoleh tidaklah sempurna bahkan bisa berlawanan. Filsafat Kant menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan gabungan (sintesis) antara keduanya.
3.      Dari sini timbullah bahwa Kant adalah seorang Kopernikan dalam bidang filsafat. Sebelum Kant, filsafat hampir selalu memandang bahwa orang (subjek) yang mengamati objek, tertuju pada objek, penelitian objek dan sebagainya. Kant memberikan arah yang sama sekali baru, merupakan kebalikan dari filsafat sebelumnya yaitu bahwa objeklah yang harus mengarahkan diri kepada subjek. Kant dapat dikatakan sebagai seorang revolusioner karena dalam ranah Filsafat Immanuel Kant pengetahuan ia tidak memulai pengetahuan dari objek yang ada tetapi dari yang lebih dekat terlebih dahulu yaitu si pengamat objek (subjek). Dengan ini tambah lagi salah satu fungsi filsafat yaitu membongkar pemikiran yang sudah dianggap mapan dan merekonstruksikannya kembali menjadi satu yang fresh, logis, dan berpengaruh.
           Pemikiran Kritisisme Immanuel Kant Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel kant. Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Perkembangan ilmu Immanuel Kant mencoba untuk menjebatani pandangan Rasionalisme dan Empirisisme, teori dalam aliran filsafat Kritisisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dari filsafat Rasionalisme dan disini kekuatan kritis filsafat sangatlah penting, karena ia bisa menghindari kemungkinan ilmu pengetahuan menjadi sebuah dogma. Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dapat kita ketahui?
2.      Apakah yang boleh kita lakukan?
3.      Sampai di manakah pengharapan kita?
4.      Apakah manusia itu?
Ciri-ciri kritisisme dapat disimpulkan dalam tiga hal:
1.      Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjekdan bukan pada objek.
2.      Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
3.      Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur anaximanesa priori  yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori  yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.
Selain beberapa hal tersebut di atas Immanuel Kant terkenal dengan 12 Kategori Kant. yang berkaitan dengan 12 macam putusan:
Putusan
Kategori
Kuantitas
Kuantitas
Universal
Kesatuan
Partikular
Pluralitas
Singular
Totalitas
Kualitas
Kualitas
Afirmatif
Realitas
Negatif
Negasi/Penyangkalan
Tak terbatas
Pembatasan
Relasi
Relasi
Kategori
Substansi
Hipotesis
Penyebab
Disjungtif/memisah
Komunitas
Modalitas
Modalitas
Problematis
Kemungkinan
Assertoris
Eksistensi
Apodiktis
Keniscayaan



Hubungan Filsafat dan Pendidikan

Hubungan antara filsafat dan filsafat pendidikan sangatlah penting sebab ia menjadi dasar, arah dan pedoman suatu sistem pendidikan. Menurut Jalaludin & Idi (2007: 32) filsafat pendidikan merupakan aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan dan mengharmoniskan serta menerangkan nilai-nilai dan tujuan yang ingin di capai.
Menurut Jalaludin & Idi (2007: 32) hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan adalah:
1.      Filsafat merupakan suatu cara pendekatan yang dipakai untuk memecahkan problematika pendidikan dan menyusun teori-teori pendidikan.
2.      Filsafat berfungsi memberi arah terhadap teori pendidikan yang memiliki relevansi dengan kehidupan yang nyata.
3.      Filsafat, dalam hal ini fisafat pendidikan, mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan.
Filsafat mengadakan tinjauan yang luas mengenai realita, maka dikupaslah antara lain pandangan dunia dan pandangan hidup. Konsep-konsep mengenai ini dapat menjadi landasan penyusunan konsep tujuan dan metodologi pendidik. Disamping itu, pengalaman pendidik dalam menuntut pertumbuhan dan perkembangan anak akan berhubungan dan berkenaan dengan realita. Semuanya itu dapat disampaikan kepada filsafat untuk dijadikan bahan-bahan pertimbangan dan tinjauan untuk memperkembangkan diri.
Hubungan filsafat dengan filsafat pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Filsafat mempuyai objek lebih luas, sifatnya universal. Sedangkan filsafat pendidikan objeknya terbatas dalam dunia filsafat pendidikan saja.
2.      Filsafat hendak memberikan pengetahuan/pendidikan atau pemahaman yang lebih mendalam dan menunjukkan sebab-sebab, tetapi yang tak begitu mendalam.
3.      Filsafat memberikan sintesis kepada filsafat pendidikan yang khusus, mempersatukan dan mengkoordinasikannya.
4.      Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan filsafat pendidikan tetapi sudut pandangannya berlainan.
Filsafat sebagai ilmu karena di dalam pengertian filsafat mengandung empat pertanyaan ilmiah, yaitu: bagaimanakah, mengapakah, kemanakah, dan apakah. Pertanyaan bagaimana menanyakan sifat-sifat yang dapat ditangkap atau yang tampak oleh indera. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat deskripsi (penggambaran) Pertanyaan mengapa menanyakan tentang sebab (asal mula) suatu objek. Jawaban atau pengetahuan yang diperolehnya bersifat kausalitas (sebab akibat). Pertanyaan ke mana menanyakan tentang apa yang terjadi dimasa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Jawaban yang diperoleh ada tiga jenis pengetahuan, yaitu: Pertama, pengetahuan yang timbul dari hal-hal yang selalu berulang-ulang (kebiasaan), yang nantinya pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman. Kedua, pengetahuan yang timbul dari pedoman yang terkandung dalam adat istiadat/kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Ketiga, pengetahuan yang timbul dari pedoman yang dipakai (hukum) sebagai suatu hal yang dijadikan pegangan. Tegasnya pengetahuan yang diperoleh dari jawaban kemanakah adalah pengetahuan normatif. Pertanyaan apakah yang menanyakan tentang hakikat atau inti mutlak dari suatu hal. Hakikat ini sifatnya sangat dalam (radix) dan tidak lagi bersifat empiris, sehingga hanya dapat dimengerti oleh akal. Lebih lanjut Kilpatrick dalam bukunya “Philosophy of Education”, menjelaskan bagaimana hubungan filsafat dengan pendidikan sebagai berikut: “Berfilsafat dan mendidik adalah dua fase dalam satu usaha; berfilsafat adalah memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik adalah usaha merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu dalam kehidupan, dalam kepribadian manusia. Mendidik adalah mewujudkan nilai-nilai yang dapat disumbangkan oleh filsafat, dimulai dengan generasi muda; untuk membimbing rakyat membina nilai-nilai di dalam kepribadian mereka, dan dengan cara ini pula cita-cita tertinggi suatu filsafat dapat terwujud dan melembaga di dalam kehidupan mereka.” Dengan demikian jelaslah bahwa filsafat dan pendidikan itu tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini filsafatlah yang menetapkan konsep, ide-ide dan idealisme atau ideologi yang dibutuhkan sebagai dasar/landasan dan tujuan pendidikan. Dan pendidikan merupakan usaha yang mengupayakan agar ide-ide tersebut menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku, dan bahkan membina kepribadian.
Atas dasar pemahaman itu, maka filsafat Pancasila selain diakui sebagai dasar dan ideologi negara dan pandangan hidup bangsa, tetapi juga Pancasila dijadikan filsafat dan dasar pendidikan di Indonesia. Sebagai dasar dan filsafat pendidikan berarti Pancasila harus dijadikan landasan pemikiran dan dasar pertimbangan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia; dan juga harus dijadikan dasar pijakan/moral bagi pendidik (menjadi filsafat pendidik) di dalam melaksanakan kegiatan pendidikan atau kegiatan belajar mengajar di sekolah. 

Hubungan Filsafat dan Ilmu

Dalam sejarah filsafat Yunani, filsafat mencakup  seluruh  bidang ilmu pengetahuan. Lambat laun banyak ilmu-ilmu khusus yang melepaskan diri dari filsafat. Meskipun demikian, filsafat dan ilmu pengetahuan masih memiliki hubungan dekat. Sebab baik filsafat maupun ilmu pengetahuan sama-sama pengetahuan yang metodis, sistematis, koheren dan mempunyai  obyek material dan formal.
Yang membedakan diantara keduanya adalah: filsafat mempelajari seluruh  realitas, sedangkan ilmu pengetahuan hanya mempelajari satu realitas atau bidang tertentu. Filsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dia memberi sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu mengembangkan ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu itu dapat hidup dan berkembang.
Filsafat membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam mempertanggungjawabkan ilmunya. Pertanggungjawaban secara rasional di sini berarti bahwa setiap langkah langkah harus  terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan dan harus dipertahankan secara argumentatif, yaitu dengan argumen-argumen yang obyektif (dapat dimengerti secara intersuyektif).
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di kemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982). Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk mengatasi antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant (dalam Kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences). Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah. Lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri (1982:22), –dengan meminjam pemikiran Will Durant– menjelaskan hubungan antara ilmu dengan filsafat dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang berhasil merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.
Untuk melihat hubungan antara filsafat dan ilmu, ada baiknya kita lihat pada perbandingan antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di bawah ini, (disarikan dari Drs. Agraha Suhandi, 1992)

Ilmu
Filsafat
Segi-segi yang dipelajari dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti
Mencoba merumuskan pertanyaan atas jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan
Obyek penelitian yang terbatas
Keseluruhan yang ada
Tidak menilai obyek dari suatu sistem nilai tertentu.
Menilai obyek renungan dengan suatu makna, misalkan: religi, kesusilaan, keadilan dsb.
Bertugas memberikan jawaban
Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu

Bagaimana Gaya Berfilsafat Menurut Bertens?

Gaya Berfilsafat Menurut Bertens
Filsafat bisa dimengerti dan dilakukan melalui banyak cara, sehingga berlaku prinsip “Variis modis bene fit”, dapat berhasil melalui banyak cara yang berbeda. Bertens menengarai ada beberapa gaya berfilsafat.
Pertama, berfilsafat yang terkait erat dengan sastra. Artinya, sebuah karya filsafat dipandang melalui nilai-nilai sastra tinggi. Contoh: Sartre tidak hanya dikenal sebagai penulis karya filsafat, tetapi juga seorang penulis novel, drama, scenario film. Bahkan beberapa filsuf pernah meraih hadiah Nobel untuk bidang kesusasteraan.
Kedua, berfilsafat yang dikaitkan dengan social politik. Di sini, filsafat sering dikaitkan dengan praksis politik. Artinya sebuah karya filsafat dipandang memiliki dimensi-dimensi ideologis yang relevan dengan konsep negara. Filsuf yang menjadi primadona dalam gaya berfilsafat semacam ini adalah Karl Marx (1818-1883) yang terkenal dengan ungkapannya: “Para filsuf sampai sekarang hanya menafsirkan dunia. Kini tibalah saatnya untuk mengubah dunia”.
Ketiga, filsafat yang terkait erat dengan metodologi. Artinya para filsuf menaruh perhatian besar terhadap persoalan-persoalan metode ilmu sebagaimana yang dilakukan oleh Descartes dan Karl Popper. Descartes mengatakan bahwa untuk memperoleh kebenaran yang pasti kita harus mulai meragukan segala sesuatu. Sikap yang demikian itu dinamakan skeptis metodis. Namun pada akhirnya ada satu hal yang tidak dapat kita ragukan, yakni kita yang sedang dalam keadaan ragu-ragu, Cogito Ergo Sum.
Keempat, berfilsafat yang berkaitan dengan kegiatan analisis bahasa. Kelompok ini dinamakan mazhab analitika bahasa dengan tokoh-tokohnya antara lain: G.E Moore, Bertrand Russel, Ludwig Wittgenstein, Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin. Corak berfilsafat yang menekankan pada aktivitas analisis bahasa ini dinamakan logosentrisme. Tokoh sentral mazhab ini, Wittgenstein mengatakan bahwa filsafat secara keseluruhan adalah kritik bahasa. Tujuan utama filsafat ini adalah untuk mendapatkan klarifikasi logis tentang pemikiran. Filsafat bukanlah seperangkat doktrin, melainkan suatu kegiatan.
Kelima, berfilsafat yang dikaitkan dengan menghidupkan kembali pemikiran filsafat di masa lampau. Di sini, aktifitas filsafat mengacu pada penguasaan sejarah filsafat. Dalam hal ini, mempelajari filsafat yang dipandang baik adalah dengan mengkaji teks-teks filosofis dari para filsuf terdahulu.
Keenam, masih ada gaya filsafat lain yang cukup mendominasi pemikiran banyak orang, terutama di abad keduapuluh ini yakni berfilsafat dikaitkan dengan filsafat tingkah laku atau etika. Etika dipandang sebagai satu-satunya kegiatan filsafat yang paling nyata, sehingga dinamakan juga praksiologis, bidang ilmu praksis.

Seberapa Penting Filsafat Bagi Manusia?

Pentingnya filsafat sebagai berikut:
Dengan berfilsafat, akan jadi lebih menjadi manusia, lebih membangun serta mendidik dianya. Dari pelajaran filsafat diharapkan setiap manusia bisa berfikir mengenai dirinya. Memberi beberapa basic pengetahuan kita, berikan tatapan atau pandangan yang sintesis hingga seluruh pengetahuan termasuk juga dalam kesatuan. Supaya hidup ini di pimpin oleh pengetahuan. Hal semacam ini lantaran tahu kebenaran yang terdasar bermakna tahu beberapa basic hidup. Mempunyai kebutuhan yang istimewa, hal semacam ini lantaran filsafat berikan beberapa basic ilmu dan pengetahuan yang lain mengenai manusia, umpamanya sosiologi, pengetahuan mendidik, pengetahuan jiwa serta lain sebagainya.
Filsafat berusaha untuk menjadikan satu hasil-hasil dari berbagai macam sains kedalam satu  pandangan dunia yang berkelanjutan. Filosofi cenderung tidak untuk jadi spesialis, seperti beberapa ilmuwan. Ia menganalisa satu benda ataupun permasalahan dengan satu pandangan yang sifatnya menyeluruh. Filsafat tertarik pada beberapa segi kualitatif segala sesuatu, terutama yang terkait dengan makna arti dan nilainya. Filsafat menampik untuk mengacuhkan semua segi yang otentik dari satu pengalaman manusia. Manusia benar-benar memerlukan pengetahuan yang berbentuk memberi arahan atau pengetahuan pengarahan. Dengan pengetahuan itu, manusia akan dibekali satu kebijaksanaan yang di dalamnya ada nilai-nilai dalam kehidupan yang begitu diperlukan oleh manusia.
Sebagian kebutuhan filsafat pada manusia salah satunya yaitu:
Dengan pelajari filsafat dikehendaki dapat memberi pengetahuan, dengan menambahnya satu pengetahuan, jadi bertambahlah cakrawala pemikiran serta pengalaman. Basic semua perbuatan, sebetulnya filsafat mengandunggagasan, dengan gagasan tersebut yang dapat membawa manusia menuju ke arah kekuatan dalam merentang kesadaran di tiap-tiap perbuatannya. Begitu manusia semakin lebih tanggap pada lingkungan serta dirinya. Dengan makin berkembangnya ilmu dan pengetahuan serta teknologi, maka manusia bakal makin ditentang oleh satu perkembangan teknologi dan efek negatifnya, pergantian demikian cepat serta makin berubahnya tata nilai, hingga manusia makin menjauh dari tatanan nilai serta moral.

Persoalan Dalam Filsafat

Filsafat menurut Immanuel Kant adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkat dari segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan yaitu: (1) apakah yang dapat kita kerjakan (jawabannya metafisika), (2) apakah yang seharusnya kita kerjakan (etika), (3) sampai di manakah harapan kita (agama), (4) apakah yang dinamakan manusia (antropologi). Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada dan yang mungkin ada. Filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, etika, ekonomi, politik dan estetika.
Dalam proses berpikir, Kant berpendapat bahwa kondisi tertentu dalam pikiran manusia ikut menentukan konsepsi. Apa yang kita lihat dianggap sebagai fenomena dalam ruang dan waktu yang disebut bentuk intuisi, mendahului setiap pengalaman. Menurut Kant objek mengarahkan diri ke subjek. Pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama dalam benak yaitu kemampuan penerimaan kesan-kesan indrawi (sensibility) dan kemampuan pemahaman (understanding) yaitu membuat keputusan-keputusan tentang kesan-kesan indrawi yang diperoleh melalui kemampuan pertama. Kedua kemampuan tesebut saling membutuhkan dalam mencapai suatu pengetahuan. kemampuan penerimaan bertugas menerima kesan-kesan yang masuk dan menatanya dengan pengetahuan apriori intuisi ruang dan waktu. Kemampuan pemahaman bertugas mengolah yaitu menyatukan dan mensintesis pengalaman-pengalaman yang yang telah diterima dan ditata oleh kemampuan penerima selanjutnya diputuskan.
Pengambilan keputusan ada dua yaitu analitik dan sintetik. Dalam analitik subjek sama dengan predikat sehingga bisa dikatakan bahwa analitik adalah identitas. Analitik  adalah pengambilan keputusan berdasarkan konsistensi koherensi. Analitik merupakan intuisi murni. Dalam analitik A sama dengan B (subjek=predikat), predikat B masuk ke dalam A atau predikat B terletak atau masuk penuh ke dalam A. Sedangkan sintetik subjek tidak sama dengan predikat sehingga  sintetik berarti kontradiksi. Sintetik adalah pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman atau intuisi empiris.
Sebagai contoh “semua benda berkembang” ini dikatakan sebagai analitik, sama halnya dengan “una adalah inu”. Una tidak bisa memahami inu dan sebaliknya inu tidak bisa memahami una. Contoh lain “semua benda mempunyai berat” kita bisa memaknai bahwa makna berat itu berbeda dengan makna benda. Tambah unsur lagi yang namannya a priori. Semua alasan memenuhi prinsip a priori, tetapi memperoleh prinsip a priori itu ternyata pengalaman yang disebut dengan sintetical judgement. Sintetikal judgement maksudnya adalah memperolehnya a priori, atau prinsip di dalam semua teori berpikir. Oleh karena itu mathematical judgement harusnya sintetik, berarti sudah berbeda dengan mathematic yang dipikirkan oleh pure mathematic. Kesimpulannya nanti bahwa matematika itu sintetik a priori.
Contoh berpikir sintetik adalah 7+5=12. Karena 7+5 tidak sama dengan 12. Ini berarti 7+5 nya  Imanuel Kant itu beda dengan 7+5 nya pure mathematician. 7+5 nya pure mathematician itu bebas ruang dan waktu. Ternyata 7+5 nya Imanuel Kant itu terikat oleh ruang dan waktu, yang disebut sintetik. Jadi 7+5 itu berbeda dengan 12. Kita tidak bisa membuktikan bahwa 7+5=12. Itulah yang dimaksud dengan sintetik.
Terdapat logika orang awam, logika formal, logika material, logika normative, logika spiritual. Imanuel Kant membuat logika Transenden, yaitu logikanya para dewa. Isinya adalah kategori, yang diperoleh dari intuisi. Kategori di dalam logika trensenden ialah kita bisa membedakan singular, particular, universal itu masuk pada kategori quantity. Kita bisa membedakan infinit negatif atau afirmatif itu kategori quality. Kategori relasi disjungtif, hipotetical, categorical, modality, problematika, asetorika, apodiktik. Semua problem berpikir termasuk di sini. Jadi categorical sendiri masuk di dalam kelompok relasi.
Konsep berpikir itu adalah sebagai kategori.  Ada judgement, unity, plurality, totality, reality, kemudian kalau dicari hubungannya modality dan possibility itu merupakan impossibility, neceserity itu adalah kontingensi. Kalau dikaitkan antara pikiran dengan pengalamannya. Kontingensi itu pengalaman, pengalaman itu bersifat kontingen, yang bersifat unpredictable. Kalau analitik metodenya deduksi. Analitik dengan deduksi itu cocok/ chemistry, bahasa itu chemistry. Deduksi di sini bersifat transenden, deduksinya para dewa. Ada deduksi yang bersifat empiris. Sebenarnya tidak ditemukan deduksi yang bersifat empiris dalam hakekat orang yang berpikir.
Pengalaman itu bersifat naik kemudian digunakan untuk berpikir, dan ada kategori terlebih dahulu, termasuk bisa membedakan. Pengalaman itu bersifat manipul, kaitannya dengan ruang berurutan, berkelanjutan dan berkesatuan, dan digabung menjadi manipul, itulah membentuk pengalaman, Imanual Kant menyebutnya sebagai manipul. Apersepsi itu bersifat sintetik. Perlu di ingat di pengalaman ada intuisi, di berpikir ada intuisi. Jadi tidak bisa berpikir tanpa intuisi. Yang mendahului berpikir itu adalah intuisi, jadi dalam mengajar kita tidak boleh merampas intuisi siswa. Intuisi ada kaitanya dengan kesadaran. Maka letakkanlah kesadaran anda di depan hakekat kalau anda ingin memahami suatu hakekat. Dalam mengajar di kelas terdapat apersepsi. Apersepsi dalam pembelajaran maksudnya kesiapan siswa. Kesatuan apersepsi itu disebut sebagai kesatuan transendental dari kesadaran diri. Kesadaran diri ini penting untuk bisa berpikir a priori. Supaya bisa berpikir maka harus sadar dulu. Apersepsi yang membentuk kesadaran tadi adalah prinsip yang tertinggi dari kesadaran brpikir. Ruang dan waktu adalah intuisi. Ruang dan waktu jika di isi dengan manipul kesatuan content, maka dia merupakan representasi tunggal tadi. Understanding adalah kemampuan kognisi. Tujuan dari apersepsi yaitu untuk melakukan kegiatan berpikir, supaya kita mampu berpikir.

Jenis-Jenis Filsafat

Beberapa Jenis Filsafat :
Filsafat Barat
Filsafat barat yaitu pengetahuan yang umum dipelajari dengan cara akademis di beberapa kampus di Eropa serta koloni mereka. Filosofi ini sudah berkembang dari kebiasaan filsafat Yunani kuno. Ciri-ciri paling utama dari filsafat barat, seperti Plato, Thomas Aquinas, Rene Descartes, Immanuel Kant, George Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche serta Jean-Paul Sartre.
Filsafat Timur
Filsafat timur yaitu kebiasaan filsafat yang terlebih tumbuh di Asia, terlebih di India, Cina serta daerah lain yang pernah dipengaruhi oleh budaya. Satu tanda dari filsafat timur yaitu hubungan dekat dengan filsafat agama. Walau ini yaitu kurang dari dapat disebutkan untuk filsafat barat, terlebih di era pertengahan, namun di dunia barat filsafat’an sich’ masihlah lebih menonjol dari pada agama. Beberapa nama filsuf Timur, diantaranya Siddharta Gautama Buddha/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Konfusius, Zhuang Zi serta Mao Zedong.
Filsafat Timur Tengah
Filsafat timur tengah diliat dari histori yaitu filsuf yang dapat menyampaikan juga pewaris kebiasaan filsafat Barat. Untuk filsuf pertama di Timur Tengah yang orang Arab atau Muslim, serta sebagian orang Yahudi, yang menundukan daerah sekitaran Mediterania serta pertemuan dengan kebiasaan filsafat Yunani dari budaya mereka. Lalu mereka menafsirkan serta memberi komentar karya-karya Yunani. Saat Eropa tiba di era pertengahan sesudah robohnya Kekaisaran Romawi serta melupakan karya-karya filsuf Yunani classic Timur Tengah ini pelajari karya-karya yang sama, serta bahkan juga terjemahan mereka dipelajari lagi oleh beberapa orang Eropa. Beberapa nama filsuf Timur Tengah yaitu Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Kahlil Gibran, serta Averroes.
Filsafat Islam
Filsafat islam yaitu filsafat yang semua Muslim Scholar. Terdapat banyak perbedaan utama pada filsafat islam dengan filsafat lain. Pertama, walau beberapa filsuf Muslim asli mengeksplorasi karya-karya filsafat Yunani classic, terlebih Aristoteles serta Plotinus, tetapi kemudian menyesuaikannya dengan ajaran islam. Kedua, islam itu agama tauhid. Lalu, saat filsafat merupakan “menemukan Tuhan”, dalam filsafat islam malah Tuhan telah diketemukan, dalam makna kalau semacam itu tak berarti usang, serta belum dibicarakan, tetapi filsuf Islam, sudah difokuskan pada manusia serta alam, lantaran, seperti diketahui, kajian Tuhan cuma bakal jadi diskusi yang tidak pernah final.
Filsafat Kristen

Filsafat Kristen awal mulanya didesain oleh bapa gereja untuk hadapi tantangan jaman di era pertengahan. Kristen dunia barat pada saat itu di tengah-tengah era kegelapan (Dark Ages). Orang mulai mempertanyakan kepercayaan agama. Filsafat Kristen banyak bergelut pada permasalahan ontologis serta kehadiran tuhan. Nyaris semuanya filsuf Kristen yaitu seseorang teolog pakar atau beberapa gosip agama. Misalnya yaitu St Thomas Aquinas serta St Bonaventura.